Pelaku public relations (PR) lazim melakukan Pengukuran PR (PR Measurement) menggunakan Advertising Value Equivalency (AVE). Padahal, cara tersebut tidak lagi bisa dijadikan tolok ukur.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Mengukur kinerja PR dengan menggunakan AVE atau yang lebih dikenal dengan PR Value, selalu menjadi perdebatan di kalangan praktisi PR. Sebenarnya, menurut Pimpinan Monitoring and Analytics Maverick Indonesia Felicia Nugroho, sudah ada cara pengukuran PR (PR Measurement) yang tepat dan diakui secara global.
Metode pengukuran ini dikeluarkan oleh International Association for the Measurement and Evaluation of Communication (AMEC). AMEC adalah organisasi yang lahir di Inggris tahun 1996. Keberadaannya bertujuan sebagai wadah sebagai membangun standar pengukuran kinerja PR.
Nah, untuk mengukur efektivitas komunikasi, AMEC mendudukkan kembali objektivitas dari komunikasi. Terdiri dari tiga. Pertama, bertujuan untuk meningkatkan level awareness. Kedua, mengubah sikap. Dan ketiga, mengubah perilaku. Ketiga inilah yang membedakan fungsi dan peran antara PR dengan marketing.
Untuk itu, imbuh perempuan yang ditemui PR INDONESIA di kantornya di Jakarta, Kamis (14/11/2019), cara mengukur kinerja atau efektivitas komunikasi/PR tidak bisa dihitung berdasarkan tarif iklan atau dengan rumus PR Value yang selama ini digunakan. “PR Value yang dikembangkan dari AVE sebagai tolok ukur, tidak lagi tepat untuk diterapkan,” katanya.
SMART
Kembali ke objektivitas komunikasi tadi. Tujuan komunikasi yang dibuat haruslah memuat unsur SMART. Yakni, specific, measureable, achievable, realistic, time. “Harus bisa dicapai, realisitis dan ada jangka waktunya,” kata perempuan yang merupakan perempuan satu-satunya asal Indonesia yang mengantongi sertifikat AMEC tersebut.
Untuk itu, tahun 2010 terbitlah Barcelona Principle, yang kemudian diperbaharui tahun 2015 menjadi Barcelona Principle 2.0. Di dalamnya memuat tujuh poin penting. Dari tujuh itu, Felicia hanya menjabarkan tiga poin yang menurutnya paling relevan untuk dibahas di topik ini. Pertama, pentingnya membuat goal setting dan measurement. “Tentukan dulu tujuan yang ingin dicapai. Tanpa ini, kita tidak bisa mengukur keberhasilan strategi dan program komunikasi yang kita buat,” ujarnya.
Kedua, mengukur outcome, tidak hanya output. Felicia mengatakan, output adalah sesuatu yang mudah diukur dan bisa kita produksi. Misalnya, jumlah wartawan yang meliput pada saat konferensi pers, jumlah berita yang tayang baik off-line maupun on-line. Pertanyaannya, apakah hal tersebut cukup untuk mengetahui reaksi atau respons dari target audiens dan tercapainya objektif komunikasi? Itulah sebabnya selain output, PR juga perlu mengukur outcome.
Caranya, kembali kepada tujuan/objektivitas komunikasi yang sudah ditetapkan di awal. Misalnya, meningkatkan level awareness. Maka, lakukan pengukuran untuk mengetahui tingkat awareness, dan seterusnya. “Untuk mengukur outcome butuh waktu dan tidak ada short cut. Pengukuran bergantung dari objektivitas komunikasi dan strategi yang kita buat,” ujarnya. Tapi tetap bisa diukur. Salah satunya dengan melakukan survei. Inilah yang membedakan PR. Poin lain yang tak kalah penting, menurut Felicia, adalah poin kelima. Di poin tersebut tegas dinyatakan bahwa AVE (PR Value) bukan nilai suatu komunikasi.
Felicia lantas memberi contoh. Misalnya, suatu perusahaan melakukan peluncuran suatu produk. Tentukan SMART. Mulai dari target target komunikasi yang ingin dicapai, misalnya, meningkatkan level awareness. Lalu, tentukan segmen dan audiens yang ingin disasar, dan jangka waktunya.
Baru kemudian membuat strategi komunikasi yang direalisasikan melalui beragam program. Bulan pertama dan kedua, misalnya, melakukan program komunikasi secara daring dan luring. Salah satunya, mengadakan konferensi media. Hasilnya ternyata respons media positif baik yang hadir pada saat konferensi maupun mengangkatnya menjadi berita. Sementara pendekatan melalui influencer dan blogger/on-line diketahui responsnya positif. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya unggahan di media sosial, jumlah like, komentar bernada positif, dan share.
“Apabila hasilnya ternyata sebaliknya, bisa jadi strategi kita kurang tepat. Maka, kita bisa kembali lagi ke awal untuk melakukan penyesuaian dan perbaikan. Di sinilah kita mengukur outcome, pengukuran PR yang perlu dilakukan, di mana kita mengevaluasi pencapaian objektif dan efektivitas program PR yang telah dijalankan,” tutupnya. (rtn)
- BERITA TERKAIT
- Tiga Institusi asal Indonesia Jadi Pemenang di Ajang AMEC Awards 2024
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab