HOME » EVENT » AWARDS

Kompetisi bagi Pegiat Media Hadir Lagi

PRINDONESIA.CO | Selasa, 14/01/2020 | 2.615
Para juri sedang melakukan penilaian.
Malik/SPS

Serikat Perusahaan Pers (SPS) kembali mengadakan kompetisi bagi para pegiat media. Proses penjurian dimulai hari ini, di kantor SPS, Jakarta, Selasa (14/1/2019), hingga tiga hari ke depan.

 

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Sebanyak sembilan juri diterjunkan untuk memberikan penilaian bagi para peserta kompetisi yang rutin diadakan oleh SPS. Tahun ini, SPS menyelenggarakan empat kompetisi. Antara lain, Indonesia Print Media Awards (IPMA), Inhouse Magazine Awards (InMA), Student Print Media Awards (ISPRIMA), dan Indonesia Young Readers Awards (IYRA).

Di hari pertama, enam juri hadir. Mereka adalah Ahmad Djauhar (Sekretaris Dewan Pertimbangan SPS), Asmono Wikan (Sekretaris Jenderal SPS), Danu Kusworo (Redaktur Foto Harian KOMPAS), Oscar Matulloh (kurator pewarta foto Kantor Berita ANTARA), Mas Sulistyo (Design Director DM ID), dan Nina M. Armando (Ketua Dewan Ilmu Komunikasi FISIP UI).

Hasil pengamatan Danu, juri InMA dan ISPRIMA, ada banyak hal yang mengejutkan pada kompetisi tahun ini meski dari segi kuantitas entri menurun. “Kualitas mereka tetap terjaga,” katanya. Ia juga mengapresiasi pemain baru yang karya dan kualitasnya tak kalah dengan peserta lama. Kepada peserta InMa, ia berpesan agar lebih banyak melibatkan internal karyawan dalam memproduksi majalah internal perusahaan. “Sumbernya ada di mereka. Mereka yang ada di sana dan merasakan. Pasti hasil karyanya jauh lebih bagus,” ujarnya seraya mengimbau agar para pegiat media memastikan setiap foto mampu mendeskripsikan tema/judul berita yang diangkat.

Sementara kepada peserta IYRA, Danu mendorong agar mereka berani mengeksplorasi dan menggali kreativitas baru. “Keluar dari pola visual media yang selama ini dijadikan patokan. Sebagai juri selama lima tahun ini, saya melihat masih banyak peserta yang polanya sama dari tahun ke tahun,” katanya.  

Oscar Matulloh, juri IPMA dan IYRA, mengapresiasi upaya jurnalis, khususnya media cetak, yang telah secara konsisten meliput seluruh peristiwa yang terjadi di tanah air. Untuk peserta IPMA, ia tak memungkiri, masih ada media yang terkesan mencari sensasi. Tapi, di sisi lain, banyak juga pemberitaan yang menampilkan karya jurnalistik yang kuat. “Satu hal yang pasti, tahun ini saya melihat media mampu menunjukkan hasil karya jurnalistik layak menjadi panutan—tidak sekadar jadi follower media sosial yang sedang viral,” imbuhnya.

Menyoal peserta IYRA, ia berpendapat, dalam menerjemahkan pesan untuk generasi muda perlu diikuti survei mendalam. “Media itu harus bisa melihat suara dari generasinya. Jangan mengecap suatu generasi sesuai keinginan kita. Generasi baru itu tidak hanya milenial. Media harus bisa membawa satu suara dan melihatnya dengan jujur,” ujarnya.   

 

Terkesan

Secara keseluruhan, Sulistyo, juri IPMA dan IYRA, melihat kualitas peserta umumnya meningkat. Namun, ia menyayangkan adanya gap kualitas yang kian lebar antara media nasional dengan daerah. “Saya tidak melihat adanya kebaruan baik dari sisi teknik fotografi, visual, pendekatan tools di media lokal. Peserta kompetisi surat kabar juga cenderung mengulang pola yang sama dengan tahun lalu. Sebaliknya, peserta dari majalah lebih berani bereksplorasi,” katanya. Sebagai pakar brand designer, ia tak memungkiri, kecenderungan enggan mengubah pola itu terjadi karena mereka tak ingin mengganggu ciri khas. “Tidak apa-apa berkreasi selama tidak keluar dari identitas brand,” ujarnya. Kepada pelaku media, ia berpesan agar berani menyajikan visual yang menarik, terstruktur dari segi eksekusi dan konsep.   

Ahmad Djauhar, juri IPMA, menilai karya berita investigasi tahun ini cukup memenuhi ekspektasinya. “Laporan investigasi itu harus memenuhi kriteria tidak hanya dari segi comprehensiveness baik dari segi editorial maupun reporting. Lebih dari itu, harus memuat unsur terkesan. Saking menariknya, ada laporan investigasi yang tahun lalu masih melekat di memori saya,” ujarnya. Tak lupa ia mendorong para pelaku media, khususnya di daerah, untuk meningkatkan kualitas laporan investigasi sehingga laporan tersebut benar-benar mencerminkan kondisi sesungguhnya. Upaya ini juga diyakini dapat menjadi potensi bagi media lokal untuk tetap mendapatkan tempat di hati para pembacanya.  

Khusus ISPRIMA, Asmono Wikan, juri InMA dan ISPRIMA, memberikan poin plus bagi peserta ISPRIMA dari Sumatera. Nilai tambah itu diberikan karena ia menilai pers mahasiswa asal Sumatera berani mengeksplorasi dan mempertaruhkan gagasan yang autentik, kreatif juga segar. “Saya yakin tidak murah bagi mereka untuk dapat mengeksekusi gagasan tersebut,” ujarnya.

Nina M. Armando, juri IPMA dan IYRA, mengaku berbahagia karena selalu ada peningkatan kualitas setiap tahun. Khusus IPMA, ia mengapresi peserta dari media lokal. Menurutnya, karya yang mereka tampilkan tergolong baik. Mereka mampu membawa pesan yang kuat dari segi visual maupun teks. Meski, masih ada beberapa kekurangan. Contoh, penggunan judul dengan bahasa yang tidak baku. “Adalah tugas media menyampaikan informasi dengan bahasa yang baik kepada pembaca karena ada proses pembelajaran di sana,” ujarnya.

Ia juga menyayangkan karena masih menemukan beberapa tampilan visual yang ia sendiri tidak bisa menangkap pesan yang ingin mereka sampaikan. Faktornya beragam. Mulai dari warna huruf terlalu gelap, kecil, latar belakang kelewat ramai, hingga penggunaan ornamen huruf yang justru membuat tulisan sulit untuk dibaca. Di sisi lain, ia acung jempol kepada pelaku media yang mampu menampilkan visual yang berbeda ketika semua media mengangkat isu yang sama.  

Acung jempol juga ia berikan kepada peserta IYRA. Dari segi kualitas mengalami peningkatan. Isu yang bagus ditunjang dengan tampilan visual yang tak kalah menarik. “Ini menggambarkan rubrik tersebut dikerjakan serius, meski pesan yang disampaikan terkesan remeh. Akhirnya, pesannya sampai dan inspiratif,” tuturnya. (rtn)