Widodo Muktiyo, Kemenkominfo: Bangun Komunikasi Kebangsaan

PRINDONESIA.CO | Senin, 25/05/2020 | 2.598
Yang harus dibangun adalah mengubah pola pikir humas pemerintah, bukan sebagai birokrat.
Dok. PR INDONESIA/Roni

Bagi seseorang yang duduk di kursi pemimpin sebagai Direktur Jenderal Informasi Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika seperti Prof. Dr. Widodo Muktiyo, kesan pertama yang kami tangkap dari sosoknya adalah ramah dan mudah dijangkau. 

 

Widodo Muktiyo - Dirjen IKP Kemenkominfo

Tidak sulit bagi kami untuk menghubungi dan duduk satu ruangan di ruang kerja pria yang merupakan Guru Besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu untuk melakukan sesi wawancara. Padahal, kami belum pernah bertemu muka apalagi berkenalan semenjak ia dilantik menggantikan Rosarita Niken Widiastuti, awal September 2019.  

Seperti pagi itu, di Jakarta, Rabu (15/1/2020), pria yang meraih gelar doktornya dari Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Indonesia itu menyapa kami, ramah. Ini adalah kali kedua kami diterima di ruang kerjanya. Pria kelahiran Klaten yang Februari ini genap berusia 56 tahun tersebut menerima dengan senang hati permintaan kami untuk menjadi sampul muka PR INDONESIA.

Menurutnya, momentum berbagi pandangan, wawasan, pesan, menyamakan gerak serta langkah kepada para praktisi public relations (PR) di seluruh tanah air, khususnya humas pemerintah yang merupakan salah satu target pembaca PR INDONESIA dinilai tepat. Apalagi, majalah ini akan menjadi edisi pembuka di tahun 2020. Kepada Ratna Kartika dan Aisyah Salsabila, ia berkisah. Berikut penuturannya.

Bagaimana kisahnya sampai Anda terpilih sebagai Dirjen IKP Kemenkominfo?  
Ada teman saya yang memberi informasi. Tadinya saya enggan. Tapi, banyak teman saya yang memberi dorongan dan dukungan. Dukungan dari mereka sangat saya butuhkan mengingat persyaratan administrasi yang harus dipenuhi banyak, prosesnya juga panjang.

Prosesnya open bidding, ya?
Benar. Prosesnya memakan waktu lumayan lama, sekitar 6 -7 bulan. Saya ikuti semua proses itu. Alhamdulillah, dari sekian banyak yang mendaftar, nama saya masuk ke dalam jajaran tiga besar sampai akhirnya saya dipilih oleh Presiden.  

Selain dukungan teman-teman, apa yang memotivasi Anda untuk menjadi bagian dari humas pemerintah? 
Dalam hidup itu kita harus punya cita-cita. Nah, dengan latar belakang ilmu dan pengalaman yang saya miliki di bidang praktik kehumasan, saya bercita-cita ingin menjadikan humas pemerintah di Indonesia lebih optimal. Saya makin termotivasi karena membangun humas pemerintah adalah bagian dari kontribusi kita membangun bangsa. Sebab, humas pemerintah itu tugasnya besar. Yaitu, brand the nation.  

Selama menjadi Dirjen IKP, tantangan apa yang menurut Anda paling berat? 
Humas itu melekat di semua kementerian, lembaga, maupun daerah (K/L/D). Selain itu, Dirjen IKP juga adalah Ketua Umum Bakohumas. Jadi, cakupan kerjanya itu holistik. Yaitu, humas pemerintah seluruh Indonesia. Tugas ini bukan pekerjaan yang sederhana.  

Pemerintah juga tidak terlepas dari birokrasi. Ada kaidah-kaidah birokrasi yang saling kait-mengait dan rumit. Mulai dari undang-undang, keputusan presiden, peraturan menteri dan lain sebagainya. Semua itu membuat government public relations (GPR) harus mengedepankan kehati-hatian setiap kali menjalankan tugas dan perannya. Di sisi lain, kita juga mesti mencari solusi terbaik agar humas bisa running well dalam menjalankan aktivitasnya sesuai perkembangan serta tuntutan zaman.  

Tapi, kalau mengubah humas pemerintah seperti PR swasta juga tidak mungkin, malah bisa jadi tidak berhasil. Yang harus kami bangun adalah mengubah pola pikir (mindset) humas pemerintah. Mindset mereka harus humas, bukan birokrat. Inilah yang menjadi kata kunci dan kami gaungkan secara terus-menerus. 

Menurut Anda, apa tantangan humas pemerintah di tahun 2020?
Tantangan kami sebetulnya adalah mengefektifkan cara kerja humas pemerintah yang berbasis pada teknologi sehingga mampu memberikan implikasi kepada masyarakat, khususnya generasi milenial tadi. Solusinya tidak cukup dengan infrastruktur, tapi harus didukung oleh personalitas humas pemerintah yang tidak mudah tersinggung. Hal ini dikarenakan saluran komunikasi yang makin beragam membuat masyarakat dapat dengan mudah menyalurkan opini, suara, bahkan yang sifatnya mencemooh sekali pun.  

Peran Ditjen IKP salah satunya mengonsolidasi dan mendesiminasikan semua kebijakan pemerintah kepada seluruh K/L/D. Apakah Anda menemui kendala selama menjalankan tugas merajut harmoni komunikasi antar K/L/D?  
Saya tidak bekerja sendiri. Ditjen IKP memiliki enam eselon dua. Antara lain, Sekretariat Ditjen; Direktorat Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan; Direktorat Informasi dan Komunikasi Perekonomian dan Maritim; Direktorat Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Direktorat Tata Kelola dan Komunikasi Publik; dan, Direktorat Pengelolaan Media. Masing-masing direktorat bertugas mengawal, membantu kelancaran, mengharmonisasikan, dan menyelaraskan informasi. 

Yang tidak kalah penting sebenarnya membudayakan kinerja fungsional. Ditjen IKP tidak ada ikatan apapun dengan atau Sekretariat Presiden seperti Kantor Staf Presiden (KSP) dan Staf Khusus Presiden (SKP) dalam arti struktur. Tapi, dari sisi kerja komunikasi, kami sangat dekat. 

Presiden memiliki juru bicara/SKP yang tugasnya menyampaikan pesan dari top leader ke seluruh masyarakat Indonesia. Sementara itu terkait institusinya ada KSP, sedangkan dengan semua K/L/D ada Ditjen IKP. Triangulasi ini menjadi penting dan harus solid.
  
Adapun Ditjen IKP memiliki spesialisasi dalam melakukan sosialisasi, diseminasi informasi dan edukasi/literasi bermedia supaya masyarakat tidak salah dalam menyerap informasi dan menyalahgunakan keberadaan media komunikasi. 

Apa pesan yang ingin Anda sampaikan kepada humas pemerintah?  
Mari kita memiliki mental layaknya humas swasta. Meski tujuannya sama, bahkan menurut saya, lebih menantang humas pemerintah. Karena hasil akhir kerja government PR bukan profit, tapi partisipasi masyarakat. 

Tantangan lainnya, di pemerintah itu ada balutan besar yang namanya politik dan kepentingan golongan. Balutan-balutan yang besar itulah yang harus kita bingkai dalam format bangsa. Artinya, kita punya payung besar, yaitu bangsa Indonesia. Kita punya ideologi yang sudah menjadi komitmen kita, yakni Pancasila.  

Saya juga berpesan kepada humas pemerintah untuk terus belajar dan meningkatkan kompetensi. Humas itu pasukan elit yang di dalamnya harus didukung dengan sumber daya yang tidak hanya besar dari segi jumlah, tapi juga memiliki karakter yang kuat dan kompetensi yang memadai. 

 

Tak kenal maka tak sayang. Bisa diceritakan latar belakang karier Anda? 
Sebenarnya sedari kecil tidak pernah terlintas di benak saya akan meniti pendidikan setinggi ini apalagi di bidang komunikasi. Sebab, pada dasarnya saya ini pemalu. Saya lahir dari orangtua yang tidak berpendidikan tinggi, SD saja tidak lulus. Saya juga dibesarkan oleh ibu yang merupakan seorang janda, karena ayah saya wafat pada saat saya masih berusia delapan tahun. 

Karena Bapak wafat di usia muda, timbul keinginan untuk menjadi dokter. Motivasinya sederhana. Indah rasanya kalau kita mampu mengobati orang lain. Mimpi itu terus saya perjuangkan meski kami hidup dalam kondisi yang sederhana dan penuh perjuangan. 

Sejak SD, saya sudah berwirausaha sebagai penjual kembang api. Ketika duduk di bangku universitas, saya berjualan kaos. Pendapatan dari berjualan kaos itu saya gunakan untuk membiayai kuliah. Saya kuliah di dua tempat, Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Ekonomi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.  

Mengapa Anda memilih menimba ilmu di dua universitas sekaligus? 
Sejak dulu saya memiliki obsesi ingin menggabungkan Ilmu Komunikasi dengan Ekonomi.  Kita mengenal ada yang namanya Komunikasi Bisnis, Komunikasi Pemasaran (marketing communication). Latar belakang inilah yang memacu semangat saya untuk menggali ilmu. Meski menempuh pendidikan di dua universitas, saya tercatat sebagai lulusan tercepat, terbaik dan termuda di FISIP UGM. 

Apakah Anda juga aktif di organisasi kehumasan?
Iya. Saya aktif di PERHUMAS. Saya cukup lama dipercaya untuk mengemban amanah sebagai Ketua PERHUMAS BPC Solo hingga akhirnya menjadi Dewan Kehormatan BPP PERHUMAS. Ketika aktif di PERHUMAS Solo, saya mengusulkan kepada BPP PERHUMAS agar Wali Kota Solo yang ketika itu dipimpin oleh Joko Widodo mendapat PERHUMAS Award di Batam tahun 2008. Hal ini didasari dari kesederhanaan, pikiran dan tindakan beliau yang mencerminkan sosok PR officer yang hebat. 

Kami perhatikan Anda selalu bugar dan penuh semangat. Apa tipsnya?
Senyum, banyak minum air putih dan tidur yang cukup.  

Kenapa senyum?
Senyum itu implikasi dari ikhlas dan bersyukur. Tapi, senyumnya harus tulus, lho, ya. Terkesan mudah, padahal sebenarnya tidak. Senyum bisa jadi ujian terberat jika kita sedang mengalami hari yang sulit.  

Makanya, saya selalu berpesan kepada humas untuk selalu tersenyum. Senyum itu mencairkan ketegangan dan kekakuan. Untuk itu, kalau ke ruangan saya harus senyum dulu. Tidak senyum, tidak saya layani, he-he. Meski begitu, banyak senyum bukan berarti kita jadi mudah disepelekan. Tetap pada porsinya. Sebab, humas itu tidak hanya high tech, tapi juga harus high touch. Kalau sudah high touch, baru kemudian kita bisa mencapai high truth—dipercaya.  (rtn)