Nasib Media Cetak di Tengah Pandemi

PRINDONESIA.CO | Selasa, 16/06/2020 | 1.481
Pandemi Covid-19 adalah krisis ketiga yang menghantam industri media cetak
Dok. Istimewa

Pandemi Covid-19 membuat keberlangsungan bisnis media cetak yang sudah mengalami krisis sebelum pandemi menjadi tambah sulit. Kebijakan manajemen untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada jurnalis pun tak terelakkan.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Inilah topik yang mengemuka di acara webinar bertema “Covid-19: PHK Jurnalis dan Matinya Media Cetak” yang diselenggarakan oleh Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Jumat (8/5/2020).

Menurut Ketua PR2Media Masduki, pandemi Covid-19 adalah krisis ketiga yang menghantam industri media cetak. Tiga krisis yang kemudian ia sebut dengan istilah triple attacks. Adapun dua dari tiga krisis yang dimaksud sudah terjadi jauh sebelum masa pandemi.

Krisis pertama, repolitisasi media massa yang sudah berlangsung sejak 2004. Krisis di mana media cetak mengalami intervensi politik yang menyebabkan menurunnya kredibilitas dan readership pembaca. Krisis kedua, serbuan teknologi digital. Lalu, krisis ketiga, pandemi Covid-19 yang memberikan dampak paling dahsyat karena menyerang seluruh entitas kemanusiaan.

Sekretaris Jenderal Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat Asmono Wikan, yang menjadi pembicara hari itu menunjukkan data bahwa tanda-tanda mengkhawatirkan dari keberlangsungan hidup media cetak sebenarnya sudah dirasakan sejak 2014. Sepanjang tahun itu hingga 2019, grafik oplah terus mengalami penurunan hingga 50 persen. Industri ini makin mengalami tekanan luar biasa sejak pandemi Covid-19. Riset SPS Pusat menunjukkan 75 persen perusahaan pers mengalami penurunan omzet selama pandemi. 

Bahkan, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Yogyakarta telah menerima sejumlah laporan mulai dari jurnalis yang mengalami PHK sepihak dari perusahaan, pemotongan, hingga penundaan gaji.

Gradasi Prioritas

Sebenarnya, kata Asmono, perusahaan pers bukannya tidak melakukan upaya, baik internal maupun eksternal. Mulai dari mengurangi kapasitas produksi hingga mengajukan tuntutan insentif kepada pemerintah. Selaku organisasi, SPS pun tak tinggal diam. Mereka bekerjasama dengan Dewan Pers dan sejumlah asosiasi lain meminta kepada pemerintah untuk memberikan dukungan kepada perusahaan pers.

Dukungan tersebut antara lain berupa relaksasi perpajakan, jaminan pengamanan sosial bagi karyawan yang harus dikurangi gajinya atau dirumahkan, insentif untuk penyediaan bahan baku cetak, melengkapi wartawan yang bekerja di lapangan selama pandemi dengan Alat Pelindung Diri (APD), dan penundaan atau pembebasan iuran BPJS Ketenagakerjaan selama masa pandemi.

Pun dengan AJI. Mereka mendorong pemerintah untuk memberikan relaksasi pajak bagi perusahaan pers dan membebaskan pajak penghasilan jurnalis. Shinta Maharani, Ketua AJI Yogyakarta, menilai dukungan pemerintah terhadap keberlangsungan industri media cetak dan profesi jurnalis ini penting. Apalagi mereka adalah garda terdepan penjembatan informasi dari pemerintah kepada publik. 

Meski begitu, mereka sepakat perlu ada gradasi prioritas untuk menentukan perusahaan pers yang layak menerima bantuan dari negara. Menurut Masduki, paling tidak perusahaan tersebut memenuhi dua indikator penting. Yakni, memiliki konten yang berkualitas dan medianya kredibel. (den)