Selama pandemi Covid-19, penggunaan media digital untuk mendukung aktivitas keseharian maupun sekadar mencari hiburan, makin meningkat. Penggunaannya tak terbatas usia, dari anak-anak hingga orang tua.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Inilah momentum bagi masyarakat, termasuk public relations (PR), berpartisipasi mengedukasi masyarakat untuk bijak dan cerdas bermedia digital. Diskusi ini mencuat di acara Husni and Friends bertema “Bijak dan Cerdas Siaran Melalui Sosial Media,” yang diselenggarakan secara virtual, Kamis (9/7/2020).
Apalagi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran belum juga rampung. Banyak pihak menyarankan supaya inisiatif dilakukan di tingkat masyarakat. Desakan ini dilatarbelakangi karena semakin maraknya bentuk-bentuk penyiaran di media sosial. Sementara aturan yang ada belum bisa dijadikan sebagai pengawal dalam menjaga agar konten-konten tersebut tidak mengganggu kepentingan publik.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak tinggal diam. “KPI terus mengupayakan agar regulasi penyiaran ini segera dibentuk,” kata Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Agung Suprio. Ia menyarankan agar UU tersebut mengatur hal-hal yang makro saja. Ketentuan lebih detail dan teknis dapat dibuat dalam bentuk peraturan pemerintah.
Semakin Cepat, Semakin Baik
Harapan senada datang dari Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana. Menurutnya, semakin cepat landasan hukum itu terbit, semakin baik juga kerja jurnalistik. “Kita tidak bisa membendung revolusi teknologi digital,” katanya. Kondisi ini tentu berimbas pada industri pers, termasuk pertelevisian. Apalagi media sosial sangat lekat dengan jurnalistik dan menyediakan ruang yang besar untuk penyiaran.
Kendati begitu, Yadi sepakat publik tidak harus bersandar pada regulasi dan semata-mata pasif menuggu aturan dari pemerintah. Kemajuan teknologi membawa banyak manfaat. Contoh, publik sebenarnya mendapat keuntungan karena informasi mendorong transparansi.
Yang penting, ia melanjutkan, pembuat konten memeriksa kembali dampak dan pengaruhnya apabila suatu informasi diunggah ke media sosial. Langkah ini menjadi filter utama untuk memastikan informasi layak disebarkan atau tidak. “Bila dampaknya negatif, jangan disebarkan,” lanjut Yadi.
Rizka Septiana, praktisi kehumasan sekaligus dosen dari Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, tak memungkiri selama ini belum semua masyarakat mendapatkan edukasi tentang cara menggunakan media sosial yang baik. Ditambah lagi dengan adanya pandemi. Masyarakat dituntut menjadi pembelajar cepat dan beradaptasi. Sehingga, potensi munculnya dampak negatif juga besar.
Apalagi media sosial mampu menjangkau audiens yang jauh lebih luas. Apabila informasi keliru tersebar ke banyak pengguna akan menjadi bola liar, kemudian viral. “Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, kita juga harus turut berkontribusi aktif,” katanya.
Upaya ini bisa dimulai dari lingkungan terkecil, keluarga. Menurut Rizka, keluarga bisa menjadi pintu gerbang literasi digital pertama. Langkah ini bahkan jauh lebih produktif dan efektif di tengah desakan untuk melakukan literasi digital. (rtn)
- BERITA TERKAIT
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab
- Dorong Kecakapan Komunikasi, Kementerian Ekraf Apresiasi Kelas Humas Muda Vol. 2