International Public Relations Summit (IPRS) 2020 dibuka hari ini secara virtual, Minggu (25/10/2020). Dalam pembukaannya Elizabeth Goenawan Ananto, founder IPRS mengungkapkan perkembangan fungsi dan peran PR dari waktu ke waktu. Adakah yang berubah?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Sore itu, seluruh praktisi PR dari berbagai lintas negara berkumpul di acara IPRS bertema “Shaping the Power of Strategic Communication in Coping with the Impact of the Digital Technology Post Pandemic”. Kepada mereka, Ega, begitu ia karib disapa, menyampaikan perbandingan riset berdasarkan Gold PR Indonesia tahun 2007 dan 2020.
Hasilnya, riset yang dilakukan tahun 2007 dengan melibatkan responden dari kalangan PR akademisi dan PR praktisi menunjukkan fungsi PR secara teknis didominasi oleh diseminasi informasi, promosi dan publikasi, serta sesuatu yang bersifat protokoler dan seremonial.
Ega yang juga founder EGA briefings ini melanjutkan, dari segi fungsi PR secara manajerial, tercatat 74,2 persen responden membuat aktivitas perencanaan komunikasi, diikuti 62,8 persen melakukan environmental scanning. Adapun empat fungsi PR secara strategis mencakup menjaga citra dan reputasi (82,1%), koordinasi internal dan eksternal (77,2%), mendapatkan dukungan publik untuk organisasi (75,5%), dan leadership dan positioning (51%).
Sementara itu, dalam riset Gold PR Indonesia II tahun 2020, Ega menemukan beberapa temuan. Hasil survei menunjukkan sebanyak 93,8 persen responden yang merupakan praktisi PR dari beragam industri ini sepakat posisi dan peran PR adalah mengidentifikasi publik yang dapat mempengaruhi organisasi. Diikuti, dengan melakukan environmental scanning (93,33%), meneruskan opini publik pada senior manager (89%), tidak membedakan gender, ras, dan latar belakang akademik (86,16%), menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan publik (86,1%), dan memengaruhi keputusan manajemen untuk hal-hal terkait PR (86,1%).
Menurut Ega, survei ini menunjukkan hasil yang positif bahwa semakin hari keberadaan PR makin diakui sebagai bagian dari fungsi manajemen strategis. “Ini diperkuat dengan beberapa temuan lain. Salah satunya, praktisi PR umumnya mampu melakukan kontak langsung dengan senior manager. Mereka pun dapat berdiskusi langsung terkait isu komunikasi kepada CEO,” ujarnya.
Kolaborasi
Tak kalah penting adalah keberadaan teknologi digital turut mengubah seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk mengubah cara PR bekerja. Keberadaannya makin tak bisa dielakkan terlebih di saat pandemi.
Ega tak memungkiri pandemi global telah memberikan dampak ekonomi dan sosial kepada seluruh negara di dunia. Untuk itu, dalam IPRS tahun ini, mereka ingin mengajak para peserta berbagi ilmu, wawasan, dan pengetahuan bersama para pakar dari berbagai negara.
Khususnya, terkait peran PR dalam memanfaatkan teknologi di era pandemi. “Bahkan, tak menutup kemungkinan melalui IPRS, peluang kerja sama dan kontribusi yang bisa dilakukan oleh PR lintas negara dalam menghadapi pandemi makin terbuka lebar,” katanya.
Senada dengan Ega, Ketua Umum BPP PERHUMAS Agung Laksamana juga menegaskan pentingnya kolaborasi. “Saat ini PR tak lagi bisa mementingkan ego sektoral. Kita harus terkoneksi dengan orang-orang dari berbagai profesi maupun industri,” ujarnya. Dengan begitu, sudut pandang PR menjadi lebih kaya dan global. (rvh)
- BERITA TERKAIT
- 3 Pilar Utama untuk Menjadi Komunikator Hebat
- Tiga Institusi asal Indonesia Jadi Pemenang di Ajang AMEC Awards 2024
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2