Humas pemerintah tidak hanya dihadapkan dengan masalah Covid-19. Namun juga masalah infodemik.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Demikianlah pernyataan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum Henri Subiakto dalam Konvensi Nasional Humas (KNH) 2020, Jumat (4/12/2020). Menurut Henri, pandemi Covid-19 menimbulkan berbagai ancaman seperti kesehatan, ekonomi, dan politik. Hal ini dikarenakan pemahaman tentang Covid-19 yang terus berkembang, diikuti krisis dan ketidakpastian.
Sementara itu, humas pemerintah dalam waktu yang sama harus menghadapi pandemi sekaligus infodemik. “Infodemik sama berbahayanya dengan pandemi,” ujar Henri.
Perkembangan media sosial menjadi pemicu maraknya infodemik ini. Masyarakat Indonesia menjadikan media sosial sebagai sumber utama informasi tentang pandemi. Lainnya yang melatarbelakangi, media sosial adalah sumber informasi tercepat dan menciptakan adiksi sosial.
Berdasarkan data BPS per 28 September 2020, tercatat ada 83,6 persen yang menyebut media sosial sebagai sumber utama informasi pandemi Covid-19. Padahal hoaks dan infodemik ditengarai mewarnai isi media sosial. Media sosial juga menciptakan era post-truth dan false truth. “Media sosial menjadi sumber disinformasi. Kebenaran bisa dikalahkan dengan keyakinan,” ujar Henri.
Henri mengatakan, untuk menetralisasi dampak negatif dari satu informasi negatif, otak manusia membutuhkan lima informasi positif. “Hal ini membuktikan hal negatif lebih mudah diingat daripada hal yang bersifat positif,” ujarnya.
Hingga saat ini memberantas hoaks masih menjadi pekerjaan rumah humas pemerintah. Sebab, faktanya hoaks memang banyak diproduksi dan disebarkan di setiap kesempatan. “Hoaks menyasar masyarakat yang cenderung membaca dan menyimpulkan secara cepat,” ujar Henri.
Hoaks juga bekerja dengan confirmatory bias. Yakni, orang lebih mudah percaya terhadap informasi yang mirip dengan pemikirannya. Pada akhirnya, mereka terjebak pada echo chamber—hanya mendengar suara mereka sendiri dan mengenyampingkan informasi-informasi yang tidak sesuai keyakinannya. “Kondisi ini akan makin diperparah dengan adanya tokoh-tokoh yang mendukungnya,” imbuhnya.
Tantangan lainnya adalah kondisi tidak pasti menyebabkan kebijakan dan informasi berubah sangat dinamis. “Sebenarnya bukan kebijakan dan komunikasinya yang berubah-ubah, tapi perkembangan virusnya yang cepat diperlukan penanganan yang juga tak kalah cepat, Maka, kebijakan yang diambil pemerintah terkesan berubah-ubah,”ujar Henri. Di sinilah pentingnya peran humas. Ia berperan menjelaskan kondisi yang tidak pasti kepada publik.
Instrumen Kebijakan
Sementara bagi Bank Indonesia, komunikasi merupakan instrumen dari kebijakan. “Kami harus dapat mengelola ekspektasi publik, literasi, transparansi, termasuk responsibilitas,” ujar Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Muhammad Nur, masih di acara yang sama.
Khusus transparansi, Nur melanjutkan, penting dalam membangun kepercayaan publik. Untuk mewujudkan komunikasi yang transparan diperlukan komunikasi yang jelas, langsung mengenai potensi risiko dan siap merespons segala risiko yang kemungkinan muncul atas terbitnya suatu kebijakan. “Selain itu, penting bagi mempersiapkan rencana komunikasi yang jelas dan tepat waktu,” imbuhnya.
Nur juga mengarisbawahi pentingnya komunikasi yang berkelanjutan, konsisten, dan berbasis dialog. Untuk mencapai tujuan komunikasi, BI menggunakan tiga kanal. Antara lain, above the line, below the line, dan media sosial. Mereka juga memiliki contact center Bicara 131 sebagai layanan informasi publik dan untuk menangani keluhan masyarakat. (rvh)
- BERITA TERKAIT
- Hasan Nasbi Resmi Melantik Jajaran Kantor Komunikasi Kepresidenan
- Menkomdigi Akan Soroti Peran Komunikasi Digital untuk Citra Bangsa di WPRF 2024
- Raih Penghargaan Golden World Award 2024, LMAN Akan Tingkatkan Inovasi
- Presiden Prabowo Imbau Kabinet Merah Putih Agar Aktif dan Terbuka Berkomunikasi
- Konstruksi Indonesia 2024: Upaya Kementerian PU Tingkatkan Daya Saing