Pentingnya Humas Menjaga Kredibilitas Informasi

PRINDONESIA.CO | Kamis, 31/12/2020 | 1.218
Humas dan pers penting untuk menguasai substansi
Dok. Istimewa

Baik humas maupun pers memiliki tanggung jawab yang sama. Yakni, sama-sama harus menjaga kredibilitas informasi agar tidak terjadi disinformasi atau malinformasi.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Pesan inilah yang ditekankan oleh Ketua Dewan Pers, Mohammad Nuh saat memberikan sambutan kunci di acara Konvensi Nasional Humas (KNH) 2020 bertajuk “Media dan Tanggung Jawab Sosial: Interdependensi dan Konvergensi Media”, Sabtu (5/12/2020).

Karena hal itu pula, baik humas maupun pers penting untuk menguasai substansi, bukan sekadar menyampaikan. “Mereka juga harus memahami bahasa atau setiap kalimat yang mereka sampaikan,” katanya. Lainnya yang ia garis bawahi adalah pentingnya humas dan pers memiliki pemahaman digital literasi yang baik sesuai perkembangan zaman. “Jika demikian, mereka akan menjadi jembatan yang baik antara perusahaan dengan publik,” ujarnya.

Khusus humas, Nuh melanjutkan, jangan hanya diniatkan untuk menyampaikan produk atau kebijakan semata. Lebih dari itu, niatnya adalah untuk mencerdaskan masyarakat. “Sehingga, produk apapun yang Anda sampaikan, muaranya agar masyarakat semakin cerdas,” katanya.

Untuk itu, humas harus memperkaya diri mereka dengan data. Informasi semata belum bisa mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi harus melibatkan pengetahuan (knowledge). “Informasi yang lengkap dapat membantu masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan wisdom. Yaitu, kombinasi antara data dengan etika,” ujar pria yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pendidikan itu. 

 

Utuh

Humas juga harus memiliki pemahaman yang utuh. Nuh mengutip buku karya Howard Gardner, 5 minds for the future.  Pertama discipline mind. Yaitu, pola pikir yang mengandalkan pada disiplin keilmuannya. Pola pikir ini tidak bisa menjadi acuan pemahaman suatu masalah, oleh karena itu perlu dikembangkan yang namanya synthesizing mind. Yakni, pola pikir yang mengombinasikan berbagai sudut pandang.

Nyatanya, dua hal tadi belum juga cukup untuk menyelesaikan persoalan kekinian. Apalagi, saat ini banyak persoalan baru yang ilmunya sendiri belum ada. Sehingga, perlu dikembangkan  creating mind—pola pikir yang mengembangkan, mengandalkan kreativitas, dan terobosan.

Creating mind mempunyai konsekuensi seperti perbedaan atau konflik. “Sebab, belum tentu semua orang dapat menerima kreativitas kita,” ujarnya. Untuk itu, diperlukan respectful mind, pola pikir yang menghormati perbedaan. 

Persoalan yang terjadi kemudian, masih saja ada pihak yang memprovokasi. Maka, perlu ethical mind. “Etika itu beyond dari segalanya. Kalau itu bisa dilakukan, bentuk komunikasi akan lebih nyaman. Sebab, ada modernitas dan penghormatan,” tutupnya. (rha)