Masih tentang Kasus Eiger

PRINDONESIA.CO | Sabtu, 06/02/2021 | 16.538
Perusahaan tidak dapat memaksakan produknya ke konsumen (product driven). Sebaliknya, menjual brand sesuai dengan kebutuhan konsumen (customer driven).
Dok.Istimewa

Krisis yang melanda Eiger pasca melayangkan Surat Keberatan kepada YouTuber yang berujung pada kemarahan warganet, langsung melandai ketika sang CEO menyampaikan surat permohonan maaf kepada publik. Namun, apakah upaya itu sudah cukup?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Mengutip teori Bill McFarlan dalam bukunya “Drop the Pink Elephant: 15 Ways to Say What You Mean and Mean What You Say”, Managing Director IMOGEN PR Jojo S Nugroho mengatakan, ada tiga formula permintaan maaf yang dinilai dapat memuaskan konsumen saat brand/perusahaan saat melakukan kesalahan atau tindakan yang menciderai reputasi. Antara lain, regret, reason dan remedy (3R).

Regret bermakna menyesali dengan tulus atas perbuatan yang telah mengecewakan stakeholders. Reason adalah memberikan alasan atas kejadian yang telah terjadi. Sementara remedy merupakan tindak lanjut yang diikuti dengan memberikan solusi kepada pihak-pihak yang dirugikan oleh brand/perusahaan.

Menurut Jojo, dalam kasus Eiger, jika merujuk pada teori tadi, perusahaan yang bergerak di bidang di bidang manufaktur dan retail peralatan petualangan di alam terbuka ini baru melakukan dua dari tiga permohonan maaf. Yakni, regret dan reason. Belum sampai ke tahap remedy, atau memberikan solusi. “Inilah yang yang luput dari standby statement yang disampaikan sang CEO di dalam suratnya,” ujarnya.  

Sebab, ia melanjutkan, permasalahan tidak selesai hanya dengan permintaan maaf, memberikan penjelasan, bahkan sekadar memberikan potongan harga. “Semua orang menunggu tindak lanjut nyata yang akan diambil oleh perusahaan terhadap reviewer mereka,” katanya.  

Contoh remedy atau tindak lanjut ini bisa dilakukan dengan cara membangun hubungan secara kekeluargaan, memberikan penawaran endorsement, hingga menjatuhkan sanksi kepada pihak yang bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut.   

Jangan Memaksa

Menurutnya, di era digital ini, penting bagi para pelaku public relations (PR) untuk menyadari bahwa perusahaan tidak dapat memaksakan produknya ke konsumen (product driven). Sebaliknya, menjual brand sesuai dengan kebutuhan konsumen (customer driven).

Lainnya yang perlu menjadi perhatian adalah konsumen di era digital seperti sekarang itu saling berinteraksi dan terikat satu sama lain melalui media sosial. Mereka cenderung memiliki jiwa korsa yang tinggi dan bakal saling mendukung apabila terdapat brand/perusahaan yang berperilaku semena-mena kepada salah satu dari mereka.

Contoh, masih pada kasus ini. Ketika ada youtuber merasa tidak terima dengan Surat Keberatan yang dilayangkan perusahaan, lalu ia mengunggahnya ke media sosial, maka dalam hitungan detik muncul warganet lain yang merasa senasib/pernah menerima Surat Keberatan serupa dari korporasi bersangkutan. “Akhirnya, isunya menjadi viral, perusahaan pun jadi bahan bullying warganet,” ujar Jojo yang juga menyayangkan respons yang diberikan oleh Eiger terkesan lambat.

Pada prinsipnya, kata pria yang juga merupakan Ketua APPRI ini, cara PR melakukan engagement dengan influencer, baik blogger maupun vlogger sama seperti ketika mereka menjalin hubungan baik dengan para rekan media. Artinya, PR tidak bisa mendikte bagaimana cara mereka menulis berita maupun melakukan ulasan produk/brand kita.

Berdasarkan teori PESO (paid, earned, shared, owned), youtuber yang mengulas suatu produk secara independen—bukan kerja sama—termasuk ke dalam kategori earned media alias promosi gratis.  (ais)