ASN Siap-siap, Reformasi Birokrasi Ubah Standarisasi Kompetensi Jadi Personalisasi

PRINDONESIA.CO | Jumat, 03/09/2021 | 3.833
Untuk bisa berpindah dari tahap standarisasi ke personalisasi, tentu dibutuhkan digitalisasi atau automatisasi.
Dok. Istimewa

Untuk mewujudkan misi tersebut, Presiden RI Jokowi telah lama menekankan agar aparatur sipil negara (ASN) menjalankan tugasnya dengan cara tepat dalam mengalokasikan anggaran (cost effective), membuat segala sesuatu yang rumit menjadi sederhana, termasuk dari sisi unit dasar pekerjaan. 

 

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Menurut Alex Deni, Deputi Bidang SDM Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), belum optimalnya tata kelola pemerintahan tercermin dari capaian beberapa indikator global. Contoh, tingkat Government Effectiveness Indonesia berada di peringkat 73 dari 193 negara. Kita juga tercatat berada di posisi kelima terendah di ASEAN dalam indeks kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business/EODB) 2020. Sementara indeks persepsi korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia 2020 menempati posisi kelima se-Asia Tenggara.

Untuk itu, ia melanjutkan, proses transformasi birokrasi diharapkan mampu menerapkan fondasi yang kokoh terutama dalam mengatur unit dasar dari organisasi pemerintahan. Dalam hal ini, unit dasar tersebut adalah job/pekerjaan.  

Dari sisi jabatan, jika dulu sangat pre-defined. Yakni, segala sesuatunya didefinisikan secara rinci mulai dari standar, ruang lingkup, hal yang boleh dan tidak boleh dikerjakan, hingga ukuran, dan lainnya. Maka, ke depan jabatan akan semakin disesuaikan (customized) dengan kebutuhan organisasinya. 

Selain itu, jika dulu kita berorientasi pada input, ke depan akan semakin fokus pada output. “Apabila dalam konteks jabatan fungsional, termasuk pranata humas, maka input itu berupa butir-butir kegiatan yang akan menentukan angka kredit,” ujarnya saat mengisi Konvensi Nasional Pranata Humas 2021, Selasa (31/8/2021).

Namun, dari sisi output, yakni level proficiency, lebih menekankan pada tingkat kemahiran yang diharapkan dari pegawai. Contoh, sebagai pranata humas ahli utama, maka yang diukur atau diharapkan adalah kemampuan memecahkan persoalan atau menyelesaikan tugas sesuai tingkat kompleksitas dan kesulitan tertentu. 

Lainnya, jika dulu ASN fokus pada standar kompetensi, ke depan fokus pada adaptive learning atau pembelajaran adaptif. "Di era industri 2.0, yang paling penting adalah standar kompetensi, kurikulum, compliance, angka kredit, dan segala macam. Maka, nanti yang dituntut adalah kemampuan kolaborasi dan personalisasi," imbuh Alex.

Gesit

Untuk bisa berpindah dari tahap standarisasi ke personalisasi, tentu dibutuhkan digitalisasi atau automatisasi. Tujuannya, agar pemerintah bisa melakukan kegiatan secara otonom tetapi tetap terarah. Dengan demikian, diharapkan para pejabat fungsional terbiasa dengan organisasi yang gesit, mampu bekerja secara mandiri, tetapi memiliki arah yang jelas. 

"Jadi, nanti kita bekerja bukan lagi berdasarkan jabatan standar yang terkotak-kotak. Tetapi bekerja karena kompetensi. Kompetensi inilah yang dapat membuat kita bisa ditugaskan di mana saja," ujarnya.

Misalnya, ke depan pranata humas bisa saja ditugaskan di Kemenkominfo. Namun, jika ada event PON, yang bersangkutan harus ikut membantu mengomunikasikannya. Demikian halnya jika ada pemilu dan agenda nasional lainnya. "Kita akan membuat jabatan yang tadinya banyak sekali menjadi mengelompok ke dalam rumpun-rumpun jabatan, baik itu humas, marketing, keuangan, maupun HR dan lainnya," tutup Alex. (ais)