IKP 2021: Etika dan Ketergantungan Pers Masih Jadi Isu

PRINDONESIA.CO | Selasa, 14/09/2021 | 3.890
Etika pers masih menjadi isu
Dok. Istimewa

Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2021 berada dalam kondisi “Cukup Bebas” dengan nilai  76,02. Apa maknanya?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – IKP 2021 merupakan survei dari Dewan Pers yang diselenggarakan rutin sejak 2016 bekerja sama dengan Sucofindo. Tujuannya, untuk mengetahui perkembangan kondisi kemerdekaan pers di Indonesia. IKP 2021, misalnya, dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kemerdekaan pers di Indonesia sepanjang Januari – Desember 2020.

Seperti tahun sebelumnya, Dewan Pers turut menggandeng PT Sucofindo. Survei melibatkan 12 informan ahli di 34 provinsi se-Indonesia. Informan ahli tersebut terdiri dari wartawan, pengusaha pers, pemerintah, dan masyarakat.

Hasilnya, IKP 2021 Indonesia berada dalam kondisi “Cukup Bebas” dengan nilai 76,02.  Menurut Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ahmad Djauhar saat konferensi pers, Rabu (1/9/2021), meski meningkat, namun nilai IKP tahun ini tidak memiliki perbedaan signifikan dibandingkan dengan nilai IKP 2020, yakni 75,27.

Adapun Kepulauan Riau merupakan provinsi yang menduduki peringkat pertama pada IKP 2021 dengan nilai 83.30. Sebaliknya, Maluku Utara menempati urutan terendah dari 34 provinsi dengan nilai IKP 2021 adalah 68,32.

Meski begitu,  menurut peneliti dari Sucofindo Ratih Siti Aminah, apabila dibandingkan dengan nilai indikatornya, nilai IKP 2021 mengalami pergerakan yang cukup dinamis. Ya, nilai total IKP 2021 tersebut diperileh dari tiga kondisi lingkungan meliputi Lingkungan Fisik dan Politik (77,10), Lingkungan Ekonomi (74,89), dan Lingkungan Hukum (74,87). Ketiganya berada dalam kondisi “Cukup Bebas”

Ada sembilan indikator yang disurvei pada kondisi Lingkungan Fisik dan Politik. Adapun indikator Kebebasan Berserikat bagi Wartawan menempati peringkat tertinggi pada survei IKP 2021 yakni 83,96. Ini adalah kali ketiga secara berturut-turut, indikator tersebut berada di posisi yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak banyak ditemukan adanya intervensi perusahaan pers terhadap wartawan untuk mengikuti organisasi wartawan maupun serikat pekerja di daerah.

Sebaliknya, indikator Kesetaraan Akses bagi Kelompok Rentan juga belum beranjak dari posisi terendah. Tahun ini skornya 72,88. Ratih mengatakan, permasalahan pada indikator ini karena belum terlaksananya media massa di daerah yang menyiarkan berita yang mudah dicerna oleh penyandang disabilitas. Misalnya, penyandang tunarungu dan tunanetra.

Dampak Pandemi

Sementara itu, pada Lingkungan Ekonomi,  indikator Kebebasan Pendirian dan Operasionalisasi Perusahaan Pers menduduki peringkat pertama dengan skor 80,22. Sedangkan dua posisi terendah ditempati oleh indikator Independensi dari Kelompok Kepentingan yang Kuat (72,58) dan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (70,47).

Menurut Ratih, rendahnya nilai indikator Independensi dari Kelompok Kepentingan yang Kuat terutama disebabkan oleh subindikator yang terkait dengan ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan dari pemerintah, partai politik, kekuatan politik lain, maupun perusahaan besar. Hal ini semakin nyata karena melemahnya situasi ekonomi pada situasi pandemi COVID-19 yang berdampak pada makin berkurangnya pendapatan dari iklan-iklan komersial.

Ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan, terutama dari pemerintah pun semakin tak terelakkan. “Ketergantungan yang besar ini memengaruhi independensi ruang redaksi dan kualitas pengelolaan perusahaan pers,” ujarnya.

Tata Kelola Perusahaan yang Baik juga masih menjadi isu dalam dunia pers saat ini. Pada indikator ini, kata Ratih, persoalan yang paling banyak dibahas adalah kesejahteraan wartawan. Banyak wartawan di daerah yang tidak mendapat gaji ke-13 atau tunjangan hari raya (THR) setara upah minimum provinsi (UMP) dalam satu tahun, beserta jaminan sosial lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers. Dampaknya, ketergantungan media pada dana pemerintah daerah makin tinggi, praktik “amplop” makin marak, dan independensi wartawan makin rendah.

Pada kondisi Lingkungan Hukum, terdapat dua indikator dengan nilai yang rendah, yaitu Etika Pers (74,55) dan Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas (62,08). “Persoalan etika pers banyak terkait dengan praktik wartawan menerima amplop, meski ada yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak memengaruhi independensi kerja wartawan,” ujarnya.

Persoalan lainnya yang masih sering muncul adalah pemberitaan yang tidak sesuai etika jurnalistik. Yaitu, pemberitaan yang tidak berimbang, mengabaikan akurasi, dan sensasional. Sementara indikator dengan skor tertinggi adalah Kriminalisasi dan Intimidasi Pers (80,89). (rvh)