Berkaca dari Baim Wong di "Citayam Fashion Week

PRINDONESIA.CO | Kamis, 28/07/2022 | 1.655
Dalam menjaga reputasi, baik personal maupun institusional, setidaknya praktisi PR harus memperhatikan aspek sosial, humanisme, dan logika publik.
Dok. Istimewa

Sembari menitikkan air mata, Baim Wong menyampaikan lewat kanal YouTube-nya bahwa ia menarik keputusannya untuk mendaftarkan HAKI Citayam Fashion Week. Ia tak menyangka iktikad baiknya itu menuai kontroversi di mata publik. Pelajaran apa yang bisa dipetik? 

 

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Keputusan Baim Wong, artis yang juga pemilik Tiger Wong Entertainment, mendaftarkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) “Citayam Fashion Week” (CFW), aksi peragaan busana yang diramaikan oleh remaja SCBD alias Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok, di zebra cross kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, menuai respons negatif dari publik. Jargon “created by the poor, stolen by the rich” alias "dibuat oleh orang miskin, dinikmati oleh orang kaya" seketika menggema di jagat maya. 

Sebenarnya apa yang salah dari tindakan suami dari model internasional Paula Verhoeven itu hingga akhirnya ia memutuskan untuk mencabut pendaftaran tersebut? Lantas, pelajaran apa yang bisa dipetik dari kasus ini? 

Dari kaca mata public relations (PR), menurut Ketua Umum Perhimpunan Humas Rumah Sakit Indonesia (Perhumasri) Anjari Umarjianto, ada tiga pelajaran yang bisa dipetik oleh praktisi PR agar kesalahan serupa tidak sampai menimbulkan krisis reputasi. 

Pertama, melakukan tindakan yang terkesan komersial. CFW merupakan bentuk ekspresi dan eksistensi remaja yang tinggal di daerah penyangga Jakarta pada ruang publik yang bersifat independen dan sosial. Sebaliknya, aksi mendaftarkan CFW ke HAKI terkesan klaim komersial. “Ujung-ujungnya bicara royalti alias cuan,” ujar Kabag Hukum, Organisasi dan Hubungan Masyarakat RS Kanker Dharmais itu.

Kedua, tidak humanis. Tak lama setelah Baim mendaftarkan CFW ke HAKI, seketika merebak jargon "created by the poor, stolen by the rich" alias "dibuat oleh orang miskin, dinikmati oleh orang kaya". "Ada sisi humanisme yang terluka. Bagaimana si kuat yang mestinya melindungi tetapi malah merampasnya," ujarnya.

Ketiga, melawan logika publik. Menurut pendapat Anjari, yang lebih berhak untuk mendaftarkan CFW ke HAKI tak lain adalah para anak muda "SCBD" selaku pemeran utama sekaligus pencipta dari fenomena tersebut. Merekalah yang lebih berhak untuk memperoleh keuntungan dan segala manfaatnya.

Pria yang sebelumnya menjabat sebagai Kabag Opini Publik Pusat Komunikasi Publik (OPPKP) Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat (Rokomyanmas) Kementerian Kesehatan itu lantas berpesan agar dalam menjaga reputasi, baik personal maupun institusional, setidaknya praktisi PR harus memperhatikan tiga aspek. Yakni, aspek sosial, humanisme, dan logika publik.(ais)