ISKI Imbau Publik Waspadai Kebocoran Data Pribadi

PRINDONESIA.CO | Minggu, 11/09/2022 | 1.254
Di samping regulasi, penting bagi publik untuk menjaga keamanan data pribadi
Dok. Republika

Maraknya kebocoran data pribadi secara digital akhir akhir ini menjadi topik hangat di tengah masyarakat. Kekhawatiran ini direspons Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) sebagai masalah yang serius.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Bagi ISKI, di samping regulasi yang dibenahi negara, setidaknya publik memiliki kesadaran untuk tidak mengekspos data diri mereka pembenahan secara regulasi. Selain negara, masyarakat juga memiliki kewajiban untuk hati-hati dalam melakukan ekspose data pribadi. “Kecenderungan masyarakat kita suka ekspos data pribadi, contoh umum di kendaraan ada ilustratsi keluarga, nama anak, istri, dan lainnya,” ungkap Ketua Umum ISKI Dadang Rahmat Hidayat dalam acara ISKI Talk dengan tema "Gagap Digital" yang diselenggarakan virtual, Kamis (8/9/2022).

Menurut Dadang, ekspos data pribadi bisa membuat keamanan menjadi terancam. Dalam konteks digital, Dadang menekankan perlunya kesadaran  bersama untuk melindungi data atau informasi pribadi. 

Dalam kesempatan yang sama, Ardi Sutedja, Chairman of Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) memberikan kritik. “Dalam hal kasus kebocoran data, ternyata tidak ada satu pun lembaga yang siap menghadapi,” katanya. Ardi menekankan perlunya SDM untuk membuat pertahanan serangan digital. Terkait regulasi, Ardi menganggap sudah ada UU ITE yang bisa jadi instrumen keamanan digital. “Publik perlu memahami aspek hukum,” pungkasnya. 

ISKI Talk dengan tema Gagap Digital ini juga dihadiri oleh dua narasumber lain;  Rully Nasrullah sebagai peneliti Komunikasi Digital dan juga Gerry Firmansyah, Direktur Eksekutif Dewan TIK Nasional.

Literasi Keamanan Digital
Dengan lebih dari dua ratus juta pengguna internet yang rata-rata menghabiskan minimal 8 jam sehari untuk berinternet, kesadaran akan keamanan digital menjadi hal yang  semakin penting untuk terus diedukasi kepada masyarakat.

“Kita sebenarnya sudah tidak punya kerahasiaan sejak punya smartphone. Setelah itu install banyak aplikasi dan tidak pernah lihat ijin aksesnya. Padahal aplikasi tersebut sering kali meminta akses terhadap dokumen dan meminta izin merekam foto dan video. Jika kita setujui, secara algoritma kita sudah membenarkan aplikasi tersebut mengambil data kita,” ujar Rully.


Sementara itu Gerry menggarisbawahi, literasi banyak kalangan terhadap risiko keamanan digital masih kurang. “Misalnya kita kurang kesadaran membaca disclaimer dari setiap aplikasi yang kita gunakan. Padahal risiko internet sangat cepat dan luas. Kesadaran ini yang perlu dibangun. Kita perlu terus meningkatkan awareness masyarakat akan hal ini,” pungkas Gerry. (rvh)