Saat ini keberadaan metaverse memang belum begitu terasa. Namun, di masa depan, teknologi ini mampu memberi dampak ekonomi dan sosial. Bagaimana praktisi public relations (PR) menyikapinya?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Bagi banyak orang, kehadiran metaverse masih dianggap terlalu cepat atau belum waktunya. Hal ini dikarenakan teknologinya masih mahal, infrastruktur, koneksi internet 5G belum merata. Ditambah lagi soal permasalahan penyimpanan data, dan belum terhubungnya dunia digital atau interoperabilitas.
Isu inilah yang menghangat dalam acara IABC Indonesia Conference “Towards 2023: Communicationg for Impact” di Jakarta, Selasa (6/12/2022). Pakar government relations dan metaverse, Tuhu Nugraha, mengatakan, metaverse tidak hanya identik dengan gaming. Lebih dari itu, teknologi ini memungkinkan manusia untuk mewujudkan sesuatu yang tidak dapat diwujudkan di dunia nyata. “Bahkan, nantinya akan berdampak pada setiap aspek kehidupan manusia,” ujarnya penuh semangat.
Nah, sebelum kita mengetahui dampaknya, Tuhu mengajak peserta untuk terlebih dulu memahami definisi metaverse. Setelah melakukan serangkaian riset dan wawancara, ia menyimpulkan bahwa metaverse merupakan lingkungan virtual yang imersif. “Dalam metaverse, audiens dapat berinteraksi secara real-time di ruang yang sama. Mereka juga akan menggunakan avatar sebagai identitas virtualnya,” katanya. “Avatar memungkinkan manusia memiliki karakter dan penampilan yang berbeda dari dirinya di dunia nyata,” imbuh pria berkacamata itu.
Tak hanya avatar, terdapat empat unsur lain yang membentuk metaverse. Pertama, dunia metaverse merupakan dunia digital tempat avatar tinggal. Kedua, aset digital atau biasa dikenal dengan non-fungible token (NFT). Manusia dapat membeli pakaian untuk avatarnya di marketplace NFT. Di masa depan, manusia juga bisa membeli aset digital seperti rumah dan mobil di dunia metaverse.
Ketiga, sistem ekonomi. Metaverse memungkinkan manusia membeli aset digital hingga bertemu artis idola. “Bayangkan, dulu kita harus menghadiri konser secara langsung dengan biaya yang relatif mahal. Di metaverse, semua hal menjadi mungkin dan terjangkau menjadi kata kunci,” kata pria yang juga merupakan dosen LSPR Communication and Business Institute ini.
Terakhir, soal interaksi sosial. Di metaverse, masing-masing avatar dapat saling berbincang. Oleh karena itu, dalam dunia metaverse ada peraturan yang harus ditaati. Sementara hambatan yang akan ditemui adalah menyamakan ekspektasi kita dengan lawan bicara di metaverse yang berbeda nilai budayanya. (rvh)
- BERITA TERKAIT
- Tiga Institusi asal Indonesia Jadi Pemenang di Ajang AMEC Awards 2024
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab