Jangan Sampai Salah, Ini Bedanya Isu dengan Krisis

PRINDONESIA.CO | Selasa, 04/04/2023 | 1.907
PR harus menganalisis isu dan krisis sebelum melakukan konferensi pers
prdaily.com

Kesalahan public relations (PR) dalam mendiagnosis antara isu dengan krisis ternyata dapat berdampak pada reputasi perusahaan.  

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Praktisi public relations (PR) dituntut peka dan mampu membedakan antara isu dengan krisis. Sebab, salah mendiagnosis akan berdampak pada reputasi. Demikian pesan  founder Nagaru Communication Dian Agustine Nuriman saat menjadi pembicara bertajuk “Crisis Communication in Digital Area”, Kamis (30/3/2023).

Menurut Dian, isu merupakan masalah yang terdapat di permukaan organisasi. Isu pada prinsipnya timbul karena adanya ketidaksesuaian kepentingan antara perusahaan dengan publiknya. Kendati demikian, isu yang tidak dikelola dengan baik bisa menjadi cikal bakal terjadinya krisis. 

Oleh sebab itu, penting bagi PR untuk melakukan identifikasi isu-isu yang berpotensi menjadi krisis. Identifikasi bisa dilakukan mulai dari kompetitor, lawan politik, sampai haters. “Apabila isu sudah menjadi pemberitaan lebih dari lima media nasional, maka PR bisa menyatakan sebagai krisis,” ujarnya.

Interaktif tidak reaktif

Perempuan yang juga merupakan Ketua Bidang Pelatihan Kehumasan BPP PERHUMAS ini juga mengimbau agar PR tidak reaktif saat berhadapan dengan isu. “Di era digital seperti sekarang, interaktif adalah cara yang lebih tepat dalam mengatasi isu atau krisis, ketimbang reaktif,” katanya. “Salah satunya dengan warganet, selain rekan-rekan media,” imbuhnya.  

Ia juga menekankan pentingnya PR menganalisis sikap sebelum mengambil tindakan. Dengan cara melihat sejauh mana isu beredar dan dampaknya terhadap organisasi. “Apabila termasuk ke dalam skala prioritas, PR harus bersiap-siap dengan strategi untuk menanganinya,” ujar Dian.

Tak lupa, ia juga berpesan agar PR tidak buru-buru melakukan konferensi pers. Konferensi pers tidak melulu menjadi solusi untuk meredam atau menjernihkan isu. Ada kalanya publik yang tadinya tidak tahu menjadi tahu karena jumpa pers dilakukan sebelum waktunya.

“Konferensi pers yang terlalu dini dapat membuat isu menjadi krisis karena sudah terlanjur dikonsumsi publik,” kata peraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi dari Universitas Sahid Jakarta tersebut. (jar)