
Pakar Komunikasi Bencana dari LSPR Institute Hidayat mengatakan, rumus tersebut akan memastikan upaya komunikasi pada tiga fase yakni sebelum, saat, maupun setelah bencana berjalan efektif sehingga dapat mengurangi risiko dan mempercepat pemulihan krisis.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Indonesia sebagai negara rawan bencana alam harus memiliki strategi komunikasi yang efektif untuk mengurangi risiko dan mempercepat pemulihan krisis. Hal itu disampaikan pakar komunikasi bencana dari LSPR Institute Hidayat, yang menekankan pentingnya komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi dari pemerintah daerah pada tiga fase yakni sebelum, saat, maupun setelah bencana terjadi.
Hidayat menjelaskan, bencana alam tidak terjadi secara tiba-tiba. Tanda-tanda yang dideteksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) lalu kemudian diinformasikan melalui beragam saluran, katanya, merupakan bentuk komunikasi pada fase sebelum bencana terjadi.
Namun, tegasnya, upaya tersebut perlu diamplifikasi agar menyentuh seluruh lapisan masyarakat. “Jika ingin melakukan komunikasi efektif pada fase prabencana, upaya yang dilakukan BMKG dapat dikoordinasikan dan dikolaborasikan kepada pemerintah daerah sampai ke simpul sosial masyarakat,” terangnya saat dihubungi PR INDONESIA, Kamis (6/3/2025).
Dalam strategi komunikasinya, lanjut pria yang menjabat Head of Centre for Crisis and Resilience Studies LSPR Institute itu, akurasi dan kecepatan pemerintah daerah dalam mengomunikasikan peringatan dini, maupun informasi mengenai lokasi pengungsian dan bantuan pada fase bencana, memainkan peran kunci. Baru setelahnya menyediakan alur komunikasi yang jelas, termasuk mengaktivasi media centre guna merespons laporan masyarakat.
Berkaca dari bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang hingga Bekasi (Jabodetabek) pada Selasa (4/3/2025), Hidayat melihat pemerintah daerah cukup kewalahan dalam menghadapi permintaan bantuan dari masyarakat. Guna menyiasatinya di masa yang akan datang, ia pun membagikan rumus 6M = f(3K) yang dapat digunakan para government public relations (GPR)
Hidayat menjelaskan, 6M pada rumus tersebut merujuk kepada upaya mengidentifikasi masalah, mengidentifikasi khalayak, menentukan juru bicara, mengemas pesan komunikasi, menentukan media komunikasi, dan melakukan evaluasi. Hal-hal tersebut, lanjutnya, hanya dapat dipastikan dengan 3K atau komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi. ”Bagaimana kita dapat menerapkan langkah-langkah komunikasi (6M) sangat bergantung pada hasil kerja sama (3K) yang ingin dicapai,” paparnya.
Pascabencana
Untuk bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah Jabodetabek beberapa waktu lalu, Hidayat menegaskan, hal penting untuk dilakukan pemerintah pusat dan daerah saat ini adalah memastikan kolaborasi lintas sektor yang terjalin berjalan dengan baik. Selaras, menggencarkan komunikasi agar masyarakat tetap waspada, mengingat potensi terjadinya cuaca ekstrem masih dapat berlanjut hingga 20 Maret 2025. “Pemerintah harus membuka komunikasi secara aktif dan transparan demi mereduksi ketidakpastian, serta menghindari kepanikan berlebih dari masyarakat,” pesannya.
Dalam konteks ini, imbuh Hidayat, pemerintah daerah perlu melakukan pemetaan stakeholder seperti relawan, tokoh masyarakat, pemuka agama, Pramuka, unsur RT dan RW, karang taruna, PKK, akademisi, dunia usaha, hingga media massa, yang dapat membantu komunikasi kepada seluruh lapisan masyarakat sekaligus menangkal penyebaran hoaks.
Pada situasi ini, tandas Hidayat, GPR berada di posisi penting karena memiliki kemampuan membangun kemitraan yang menjadi kunci penanganan bencana. “Bencana adalah urusan bersama, Pemerintah tidak dapat bekerja sendirian tanpa bantuan seluruh lapisan masyarakat,” tutupnya. (eda)
- BERITA TERKAIT
- Ini 3 Kiat Penting Menyuguhkan Presentasi yang Efektif
- Menengok Model Komunikasi Risiko Bencana Alam Melalui “Stakeholder Engagement”
- Belajar dari Banjir Jabodetabek, Pakar Ajak GPR Pakai Rumus 6M=f(3K)
- 4 Kiat Merespons Isu Kebocoran Data
- Menyoal Komunikasi Risiko Bencana Seperti untuk Banjir Jabodetabek