
Berkaca dari banjir yang melanda sejumlah kawasan Jabodetabek beberapa waktu lalu, Dr. Dian Agustine Nuriman, M.IKOM, IAPR menawarkan satu pendekatan komunikasi risiko terpadu. Seperti apa?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Belum lama ini banjir merendam sejumlah kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Bencana alam tersebut menjadi pengingat bagi Indonesia untuk memiliki strategi komunikasi risiko yang komprehensif. Sebab, hanya dengan itu dampak bencana alam dapat dimitigasi.
Dalam konteks ini, founder & Principal Consultant NAGARU Communication Dian Agustine Nuriman menawarkan satu pendekatan komunikasi risiko terpadu lewat Model Komunikasi Risiko Bencana Alam Melalui Stakeholder Engagement. “Model komunikasi ini saya buat untuk disertasi tahun 2022 melalui stakeholder engagement. Di dalamnya terdapat enam elemen,” ujarnya saat dihubungi PR INDONESIA, Kamis (6/3/2025).
Secara detail Dian memaparkan, aspek kolaborasi komunikasi stakeholder terpadu menyoroti pentingnya kolaborasi ketika sebelum, saat, maupun setelah bencana. Beberapa di antara pihak yang harus dilibatkan meliputi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai penyedia informasi cuaca awal, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai hilir yang juga punya peran dalam mengomunikasikan risiko bencana.
Kemudian ada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), BASARNAS, pemerintah daerah selaku pengambil keputusan, TNI/Polri, dinas kesehatan, dinas sosial, dan media seperti radio untuk menyebarkan informasi ke wilayah yang sulit dijangkau internet. Jika daerah terdampak dekat pada daerah wisata, imbuh Dian, maka Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) serta industri setempat juga dapat membantu mitigasi.
Baru setelah kolaborasi komunikasi terjalin, pesan komunikasinya dapat dibangun dengan awalan menyamakan persepsi risiko (risk perception). Terpenting, kata Dian, bangunan pesan harus berlandaskan kepada data dan fakta terpercaya. “Jangan sampai ada masyarakat yang apatis dan menganggap bencana banjir sebagai hal yang lumrah,” pesannya.
Fungsi komunikasi juga tidak boleh luput dari perhatian. Dalam hal ini pelaku komunikasi perlu menetapkan apakah ingin mendidik, menginformasikan, menghibur, atau memengaruhi. Maka, menjadi penting untuk memahami karakter stakeholder yang dituju. Hal ini termasuk juga penentuan segmentasi media. Sebab, kata Dian, dalam komunikasi risiko terdapat sekurangnya tiga kelompok stakeholder yang perlu disasar. Mereka adalah korban bencana alam, pihak yang menangani risiko, dan orang-orang yang berperan dalam membuat strategi mitigasi kebencanaan.
“Zero Victim”
Penting pula untuk tidak melewatkan aktivitas komunikasi risiko yang mencakup simulasi kebencanaan, sosialisasi melalui seminar atau focus group discussion (FGD), hingga penentuan lokasi evakuasi dan penempatan tanda-tanda keselematan. “Kalau kita lihat di Indonesia, khusus untuk bencana banjir masih sedikit atau bahkan belum ada jalur maupun penanda resmi. Makanya pemahaman masyarakat terkait bencana ini sangat penting,” tegas Dian.
Secara umum, lanjut Dian, tujuan dari komunikasi risiko adalah memastikan pesan yang disampaikan melalui media dan kegiatan komunikasi, dapat tersampaikan dengan baik sehingga memunculkan kesadaran akan risiko bencana alam.
Muara dari semua itu, tandasnya, adalah mengurangi risiko bencana dengan target zero victim alias tidak ada korban sama sekali. “Ini adalah target pencapaian dari komunikasi risiko yang dapat dilaksanakan dengan konsisten dan juga penuh tanggung jawab oleh semua pihak yang terlibat,” tutupnya. (eda)
- BERITA TERKAIT
- Ini 3 Kiat Penting Menyuguhkan Presentasi yang Efektif
- Menengok Model Komunikasi Risiko Bencana Alam Melalui “Stakeholder Engagement”
- Belajar dari Banjir Jabodetabek, Pakar Ajak GPR Pakai Rumus 6M=f(3K)
- 4 Kiat Merespons Isu Kebocoran Data
- Menyoal Komunikasi Risiko Bencana Seperti untuk Banjir Jabodetabek