Ini Peran Strategis Media dan PR dalam Menegakkan Kebenaran di Era “Post-Truth”

PRINDONESIA.CO | Jumat, 17/11/2023 | 1.233
Di era pascakebenaran, fakta telah bergeser menjadi persepsi. Praktisi PR dan media pun perlu untuk tetap menggemakan kebenaran tersebut kepada publik.
Dok. Freepik.com

Ternyata, praktisi public relations (PR) dan media memiliki peran vital di era pascakebenaran (post-truth) seperti sekarang. Mengapa?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Ada dua pihak yang berperan vital dalam membentuk opini publik yang berlandaskan kebenaran di era post-truth (pascakebenaran) seperti sekarang. Pertama, pelaku media. Kedua, pelaku public relations (PR).

Topik ini mengemuka saat diskusi Diskoma Edisi #10 bertema “Melihat Truth di Era Post-Truth” yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, secara virtual, Jumat (17/11/2023).

Asmono Wikan, Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Dewan Pers, menekankan langkah yang dapat dilakukan oleh praktisi PR dan pelaku media dalam menghadapi era pascakebenaran ini.

Ia kemudian mengutip Ivy Ledbetter Lee (1877—1934). Tokoh yang dikenal sebagai Bapak PR Dunia ini memberikan landasan kepada praktisi PR agar senantiasa menyuarakan kebenaran (tell the truth) dan menyampaikan fakta yang akurat kepada publik (provide accurate facts).

Sebab, kata pria yang juga merupakan founder & CEO PR INDONESIA Group itu, fakta yang akurat akan menjadi modal bagi PR untuk mengampanyekan produknya sekaligus meraih kepercayaan (trust) publik. “Tugas PR itu bukan untuk menjadikan kebenaran sebagai kosmetik melainkan mengemas fakta menjadi menarik dan disampaikan dengan jernih kepada publik,” imbuhnya.

Jurnalisme Berkualitas

Sementara bagi media, menurut Asmono, tidak ada cara lain yang dapat dilakukan selain menghadirkan jurnalisme berkualitas yang mencerahkan publik. “Jurnalisme berkualitas  adalah salah satu senjata untuk menghadapi era pascakebenaran,” ujarnya.

Hal ini penting menjadi catatan bagi media. Pasalnya, hasil riset Edelman Trust Barometer 2018 menunjukkan masyarakat Indonesia termasuk ke dalam kategori yang paling mengkhawatirkan adanya berita palsu sebagai alat pemecah belah. Di sisi lain, riset yang sama juga menunjukkan bahwa dua dari tiga orang tidak bisa membedakan produk berita jurnalistik yang asli atau palsu.

Asmono melanjutkan, jurnalisme berkualitas itu diwujudkan dengan mengedepankan pemberitaan yang objektif dan independen. Karena pada akhirnya, kepercayaan publik terhadap media akan diukur lewat kualitas jurnalisme yang mampu dihadirkan oleh media. (mfp)