
Herry Ginanjar dan Emilia Bassar, dua juri IDEAS 2025 berbagi wawasan mendalam tentang strategi komunikasi berkelanjutan. Keduanya menekankan pentingnya pendekatan berbasis data dalam program ESG dan DEI.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Dua juri The 4th Indonesia DEI & ESG Awards (IDEAS) 2025 Herry Ginanjar dan Emilia Bassar, punya catatan penting terkait penerapan program Environment, Social, dan Governance (ESG) serta Diversity, Equality, dan Inclusion (DEI) di Indonesia, berdasarkan proses penjurian IDEAS 2025 beberapa waktu lalu. Keduanya pun sepakat, pendekatan berbasis data yang terukur adalah kunci membangun komunikasi efektif dan tepercaya.
Herry Ginanjar selaku Ketua Indonesian ESG Professional Associations (IEPA), menyoroti setidaknya dua masalah krusial dalam komunikasi ESG di Indonesia yang perlu diatasi. Pertama, tingkat literasi publik dan praktisi yang masih rendah terhadap istilah-istilah teknis. "Literasi mengenai ESG masih menjadi tantangan. Banyak yang belum familiar dengan istilah seperti kerangka kerja IFRS S1/S2 hingga Emisi Scope 3," ungkapnya kepada HUMAS INDONESIA, Rabu (28/5/2025).
Kedua, lanjutnya, regulasi terkait ESG masih belum seragam. Menurut Herry, meskipun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mewajibkan laporan keberlanjutan bagi perusahaan emiten, tetapi implementasi di sektor lain masih longgar. "Petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis untuk target seperti Emisi Nihil juga sering kali belum jelas," tambahnya.
Kondisi ini, katanya, meningkatkan risiko greenwashing atau praktik pencitraan "hijau" yang tidak didukung oleh tindakan nyata. Untuk mengatasinya, Herry menekankan pentingnya komunikasi yang transparan, menarik, dan berlandaskan data untuk membangun kepercayaan pemangku kepentingan.
Sementara itu, Emilia Bassar selaku pendiri sekaligus CEO CPROCOM yang punya spesialisasi dalam praktik DEI, menggarisbawahi satu hal. Menurutnya, keragaman budaya Indonesia yang sangat kompleks menuntut sensitivitas tinggi dalam penyusunan program. "Menggunakan bahasa dan terminologi yang tepat sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman. Membuat program komunikasi DEI yang berkelanjutan harus melibatkan hati, bukan sekadar pengetahuan," ujarnya, ketika dihubungi HUMAS INDONESIA pada Kamis (5/6/2025).
Perempuan yang karib disapa Emil itu juga menyoroti pentingnya aksesibilitas, terutama bagi penyandang disabilitas, sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi DEI. Dalam praktiknya, imbaunya, perlu adanya penggunaan kerangka kerja enam tahap yang mencakup riset, analisis situasi, pemetaan isu dan pemangku kepentingan, penyusunan strategi, implementasi, serta evaluasi. "Setiap strategi komunikasi untuk program DEI harus selalu diawali dengan riset data, baik kualitatif maupun kuantitatif," imbuhnya.
Pengukuran Terstandar dengan Kerangka Kerja AMEC
Titik temu dari catatan kedua pakar yang menjuri di IDEAS 2025 itu adalah perlunya metode pengukuran yang kredibel untuk menilai keberhasilan komunikasi program. Di sini, baik Herry maupun Emil merekomendasikan kerangka AMEC (International Association for Measurement and Evaluation of Communication) yang mencakup output, outtakes, dan outcome.
Adapun output merupakan hasil langsung dari kegiatan komunikasi. Contohnya, jumlah siaran pers yang dimuat media. Sementara outtakes adalah respons audiens sasaran terhadap pesan. Contohnya, pemahaman atau kesadaran audiens terhadap pesan.
Sedangkan outcome merupakan perubahan sikap atau perilaku pada audiens sasaran sebagai dampak kampanye. Contohnya, peningkatan kepercayaan atau partisipasi dalam program. (ARF)
- BERITA TERKAIT
- Pemenang IDEAS 2025 Sepakat Komunikasi Harus Menciptakan Dampak
- Juri IDEAS 2025 Ungkap Tantangan Komunikasi DEI & ESG di Indonesia
- Ketika Praktik DEI Jadi Prasyarat Reputasi yang Kuat
- Komunikasi ESG Efektif Harus Berlandaskan Data, Transparansi, dan Pengukuran
- Daftar Lengkap Pemenang IDEAS 2025