HOME » EVENT » AWARDS

Tentang Pergeseran yang Tak Terelakkan dalam Praktik PR Hari Ini

PRINDONESIA.CO | Selasa, 24/06/2025
CEO Konner Advisory Silih Agung Wasesa di hadapan peserta workshop Digital PR Campaign That Lead the Narrative, Rabu (18/6/2025) di Jakarta.
doc: PRINDONESIA.CO

Menurut CEO Konner Advisory Silih Agung Wasesa, kinerja praktisi PR pun harus bertransformasi mengandalkan sistem lewat monitoring di multiplatform untuk melihat real time narrative management, dan social listening.  

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Disrupsi dan dinamika digital telah membuat peta dunia public relations (PR) mengalami pergeseran. CEO Konner Advisory Silih Agung Wasesa mengatakan, pergeseran tersebut merupakan imbas dari perubahan perilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh ledakan informasi.

Salah satu pergeseran yang kentara, kata Agung, dapat dilihat dari hilangnya relevansi golden hour ketika suatu organisasi menghadapi potensi krisis. Jika dulu praktisi PR punya cukup waktu memetakan isu dan menyiapkan strategi mencegah krisis, kini berbeda adanya. “Dulu komplain konsumen yang berpotensi menjadi krisis dapat ditangani sebelum isunya naik ke media cetak. Sekarang, semua terjadi begitu cepat karena media sosial,” ucapnya dalam workshop Digital PR Campaign That Lead the Narrative, Rabu (18/6/2025) di Jakarta.

Hal lainnya yang juga tidak dapat dielakkan, lanjut alumnus LSPR Institute itu, terkait dengan pergeseran kepercayaan publik (trust shifting). Hari ini, katanya, kepercayaan publik tidak lagi bisa dibangun secara efektif jika hanya mengandalkan publikasi di media. Organisasi kini perlu memainkan peran nano influencer, dan komunitas independen.

Di hadapan para peserta workshop yang merupakan buah kolaborasi PR INDONESIA bersama Konner.id dalam rangkaian acara puncak The 4th Indonesia DEI & ESG Awards (IDEAS) 2025 itu, Agung menjelaskan pandangan tersebut dengan contoh polemik galon air minum dari brand ternama yang belakangan disebut-sebut mengandung BPA.

Diketahui setelah ramai diperbincangkan, pihak brand tersebut mengubah material galonnya. Agung menerangkan, hal tersebut merupakan dampak dari perkembangan opini publik yang dipengaruhi oleh obrolan dan konten di media sosial. “Ini menjadi bukti bahwa sekarang opini tidak lagi terbentuk dari berita resmi. Melainkan dari narasi atau percakapan publik yang menyebar di media sosial,” imbuhnya.

Dari Tokoh Masyarakat ke UGC

Hal selanjutnya yang menegaskan pergeseran peta praktik PR di era digital ini adalah popularitas user generated content (UGC). Pemanfaatannya di level organisasi seperti dengan mendorong karyawan yang punya ketertarikan di dunia pembuatan konten, menurut Agung, bahkan sudah menjadi keharusan. Sebab, efektivitasnya dalam menghimpun kepercayaan publik sudah terbukti, karena menekankan pendekatan komunikasi dua arah. “Sekarang nggak bisa lagi mengandalkan one way communication. Kita harus mendorong orang-orang membicarakan program, produk, atau organisasi kita lewat UGC,” ujarnya.

Agung mendorong organisasi untuk mulai menggencarkan UGC, karena efektivitas third party endorser seperti tokoh agama dan tokoh masyarakat sebagai tameng dan kunci pemulihan reputasi pascakrisis sudah melemah. “Sekarang pendekatannya telah bergeser ke arah pemanfaatan influencer dan konten yang dihasilkan lewat UGC, karena dapat langsung diterima oleh publik,” tutupnya. (eda)