
Menurut CEO Infipop Irfan Prabowo, rra digital mengubah lanskap Public Relations (PR) secara fundamental. Fokus komunikasi kini bergeser dari media massa ke kekuatan narasi berbasis komunitas.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Dahulu, aktivasi marketing dan public relations (PR) memiliki ruang yang jelas. Masing-masing terpisah dinding yang tegas di media massa. Kekinian, disrupsi digital membuat pembatas itu menjadi kabur dan tidak lagi relevan.
Hal tersebut yang disoroti CEO Infipop Irfan Prabowo dalam workshop Digital PR Campaign That Lead the Narrative yang merupakan buah kolaborasi PR INDONESIA bersama Konner Advisory, dalam rangkaian acara puncak The 4th Indonesia DEI & ESG Awards (IDEAS) 2025, Rabu (18/6/2025) di Jakarta.
Pria yang karib disapa Fanbul itu menerangkan, aktivitas PR di ranah digital dewasa ini telah menuntut pendekatan yang lebih terintegrasi dan dinamis. "Ketika dulu marketing dan PR itu punya perbedaan ruang, ketika masuk ke dunia digital, semua jadi kabur," ucapnya.
Inisiator komunitas Minutes of Managers (MoM) itu pun mencermati, perubahan paling signifikan yang dapat ditemui dalam konteks komunikasi adalah bagaimana kini setiap individu dapat menjadi media. Arus informasi tidak lagi bersifat top-down dari media massa ke audiens.
Fanbul juga menjelaskan, kondisi tersebut secara praktis turut mengubah cara jenama (brand) membangun persepsi, dengan tuntutan strategi komunikasi termutakhir. "Sekarang media massa menarik berita dari individu. Lagi viral di TikTok, lagi viral di Twitter, lagi viral di Instagram, jadi berita," imbuhnya.
Kekuatan Baru Bernama Komunitas
Di tengah lanskap baru ini, lanjut pria yang sudah malang melintang di dunia marketing dan komunikasi itu, komunitas muncul sebagai stakeholder dengan kekuatan sangat besar. Terutama bagi audiens generasi Z, komunitas bahkan telah menjelma ruang membentuk identitas. Kehadiran mereka, imbuhnya, menjadi kekuatan pendorong kesuksesan kampanye digital.
Fanbul mengambil contoh proyek yang pernah ia pimpin kala bekerja di Lemonilo, yaitu kolaborasi dengan grup NCT Dream, untuk menerangkan kekuatan partisipasi audiens dalam suatu kampanye digital. Dalam kampanye tersebut, terangnya, interaksi organik para penggemar merupakan “bidan” kesuksesan program. Adapun brand hanya menindaklanjuti dengan orkestrasi. “Kampanye tersebut tidak lahir dari strategi korporat yang kaku. Kami menggunakan framework partisipatif. Bukan top-down,” paparnya seraya menegaskan pentingnya riset dalam pendekatan tersebut.
Implementasi strategi dalam kampanye tersebut, lanjut Fanbul, dimulai dengan memahami motivasi unik dari setiap komunitas yang menjadi target. Pendekatan personal yang tulus terbukti jauh lebih efektif daripada sekadar transaksi finansial. “Narasi yang menular kemudian bisa dibangun dengan kerangka kerja STEPPS,” ucapnya.
Kerangka kerja yang termuat dalam buku Contagious (2019) karya Jonah Berger itu menekankan pada aspek Social Currency, Triggers, Emotion, Public, Practical Value, dan Stories. “Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, sebuah kampanye digital dapat menciptakan narasi yang relevan, emosional, dan mudah dibagikan oleh audiens,” imbuhnya.
Berkaca dari pengalamannya, Fanbul menandaskan, masa depan PR tidak lagi bergantung pada seberapa besar jangkauan media. Ia yakin, keberhasilan kampanye PR kini hanya dapat ditentukan oleh kemampuan mengidentifikasi dan berkolaborasi dengan komunitas yang tepat. "Kuncinya, kita harus tahu mau kolaborasi dengan komunitas yang mana," pungkasnya menegaskan bahwa memilih komunitas adalah langkah paling krusial. (ARF)
- BERITA TERKAIT
- Community-Driven Narrative” Sudah Harus Jadi Fokus Komunikasi PR Digital
- Tentang Pergeseran yang Tak Terelakkan dalam Praktik PR Hari Ini
- Kampanye PR Digital yang Viral Bisa Dicapai dengan “STEPPS Framework”
- Praktisi PR Harus Cermat Agar Tidak Terjebak “Shadow Boxing”
- Pemenang IDEAS 2025 Sepakat Komunikasi Harus Menciptakan Dampak