Kecelakaan Kereta di Bandung, Ini Pentingnya PR Meningkatkan Kepekaan

PRINDONESIA.CO | Jumat, 05/01/2024
Terdapat enam hal yang harus disiapkan public relations (PR) untuk meningkatkan kepekaan.
Foto KAI

Kesiapan menjadi kunci public relations (PR) dalam menghadapi krisis. Salah satunya adalah meningkatkan kepekaan. Seperti apa?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO –  Kecelakaan kereta api (KA) Turangga Surabaya-Gubeng Bandung  dan KA Lokal Padalarang-Cicalengka pada Jumat (5/1/2024) membuat PT Kereta Api Indonesia (Persero) tak bisa menghindar dari krisis. Peristiwa ini mengakibatkan empat orang petugas KAI meninggal dunia dan 37 penumpang mengalami luka ringan.

Berbagai spekulasi muncul di media sosial menyoal penyebab kecelakaan. Mulai dari petugas yang tidak angkat telepon karena ketiduran, sistem interlock yang diduga bermasalah, hingga pegawai baru yang tidak didampingi supervisor.

Jika merujuk bermacam dugaan yang berkembang, dampak dari peristiwa ini dapat dikategorikan sebagai krisis yang timbul akibat kesalahan atau kelalaian. Seharusnya, krisis semacam ini bisa dihindari.

Menurut Founder & Principal Consultant NAGARU Communication Dian Agustine Nuriman saat menjadi pembicara in-house training Rumah (RS) Awal Bros Pekanbaru, Riau, Selasa (18/4/2023), krisis terbagi dua. Pertama, krisis yang tidak bisa dihindari seperti bencana alam. Kedua, krisis yang muncul akibat kesalahan atau kelalaian seperti kejadian tersebut.

Untuk mengatasi krisis kedua, perempuan yang juga menjabat Tenaga Ahli Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendorong praktisi public relations (PR) untuk meningkatkan kepekaan terhadap risiko atau sense of risk. Menurutnya, ada enam hal yang perlu menjadi perhatian PR guna mengembangkan sense of risk.

Pertama, kata Dian, mempelajari dan memahami risiko yang mungkin terjadi di sekitar seperti risiko finansial, operasional, dan teknologi. Termasuk menganalisis kemungkinan risiko yang tidak terlihat. Kedua, meninjau kembali krisis masa lalu dengan memperhatikan risiko, menganalisis penyebab, serta dampaknya.

Ketiga, melakukan simulasi krisis untuk mengembangkan kemampuan dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko. Keempat, Memperhatikan tanda-tanda awal krisis yang mungkin terjadi. Sebagai contoh perubahan di lingkungan, gejala dari sistem atau teknologi, dan faktor lainnya.

Selanjutnya, mengevaluasi langkah-langkah yang diambil setelah terjadinya risiko. Evaluasi ini bertujuan untuk menilai keefektifan tindakan yang diambil. Keenam sekaligus terakhir, Dian mengatakan, pentingnya menjaga komunikasi dengan semua pemangku kepentingan (stakeholder) dan tim krisis. (jar)