Lima Kunci ‘Ghostwriting’ untuk Komunikasi Berdampak

PRINDONESIA.CO | Rabu, 17/09/2025
Ilustrasi ghostwriting
doc/shutterstock

Pemimpin kerap kesulitan menuangkan visi besar ke dalam kata-kata yang menarik. Darin Smith, manajer komunikasi, membagikan lima kunci agar tulisan ghostwriter yang dibuat praktisi humas dan public relations terdengar autentik seperti suara asli pemimpin.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Tidak semua pemimpin yang visioner adalah seorang penulis yang andal. Menurut Manajer Komunikasi dan Pemasaran Crossroads Charter Schools, Darin Smith, para pemimpin direkrut karena visi, kemampuan mengambil keputusan, dan daya inspirasi mereka, bukan karena kemahiran menulisnya.

Di sinilah peran penting ghostwriting atau penulisan bayangan. “Untuk itu diperlukan ghostwriting untuk mengisi kesenjangan itu sebagai keterampilan mengubah pemikiran yang tersebar menjadi bahasa yang jelas terdengar alami dalam suara pemimpin,” ujar Darin, seperti dilansir dari PR Daily, Senin (8/9/2025).

Lima Jurus Mengasah Suara Pemimpin

Untuk membantu para eksekutif menyampaikan pesan yang autentik dan memikat, Smith menguraikan lima jurus yang dapat diterapkan oleh para praktisi humas dan public relations (PR).

1. Menangkap Jiwa Bahasa Pemimpin

Setiap pemimpin memiliki gaya bahasa, frasa, atau metafora favorit yang menjadi ciri khasnya. Seorang penulis bayangan harus jeli mengamati dan mencatat pilihan kata ini saat pemimpin berbicara di berbagai forum. “Gunakan kembali dalam naskah sehingga audiens merasakan itulah suara pribadi mereka, bukan naskah buatan PR,” ujar Darin.

2. Menyederhanakan Kompleksitas, Bukan Kredibilitas

Jargon teknis dan akronim sering kali menjadi penghalang dalam komunikasi. Pesan yang baik harus dapat dipahami oleh semua lapisan audiens. Mengganti istilah rumit dengan bahasa yang sederhana tidak akan mengurangi kredibilitas, justru akan meningkatkan wibawa pemimpin karena pesannya tersampaikan secara efektif.

3. Menjadikan Cerita sebagai Jantung Pesan

Manusia lebih mudah mengingat cerita daripada data dan angka. Darin menyarankan untuk menyusun pesan dalam pola sederhana: masalah, tindakan, dan hasil. Pola narasi tiga babak ini sejatinya telah menjadi dasar penceritaan yang efektif sejak Aristoteles menguraikannya dalam karyanya, Poetics (384-322 SM). “Satu kisah nyata akan selalu mengalahkan seratus angka abstrak,” pesannya.

4. Menulis untuk Telinga, Bukan Hanya Mata

Naskah pidato dirancang untuk didengarkan, bukan hanya dibaca. Oleh karena itu, variasikan ritme dan panjang kalimat agar alurnya terdengar alami saat diucapkan. Kalimat yang terlalu panjang dan monoton akan melelahkan audiens dan menenggelamkan esensi pesan yang disampaikan.

5. Menciptakan Gema di Kalimat Penutup

Kalimat terakhir adalah bagian yang paling diingat oleh audiens. Hindari penutup standar seperti "terima kasih". Sebaliknya, buatlah sebuah pernyataan penutup yang kuat, inspiratif, dan mengajak audiens untuk bergerak. “Sebab, kalimat terakhir yang tepat dapat menjadi kutipan yang hidup di media sosial maupun publikasi internal,” pesan Darin.

Dengan melakukan teknik ghostwriting yang baik dan tepat, kinerja praktisi PR dapat membantu pemimpin ataupun perusahaan dalam menyampaikan pesan yang memikat, menyentuh emosi, serta berdampak bagi audiens. (EDA)