
KPU dikritik karena membatasi lalu membuka kembali akses publik terhadap dokumen capres-cawapres. Sikap berubah-ubah ini dinilai merusak kredibilitas dan mencederai prinsip transparansi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menuai sorotan setelah membuat keputusan kontroversial tentang akses publik terhadap dokumen ijazah calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres), kemudian membatalkannya dalam waktu singkat. Sikap berubah-ubah ini memicu kritik tajam dari berbagai kalangan.
KPU semula mengeluarkan Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 yang menetapkan 16 dokumen persyaratan capres-cawapres sebagai informasi dikecualikan dari akses publik. Keputusan ini ditandatangani Ketua KPU Mochammad Afifuddin pada 21 Agustus 2025 dan berlaku selama lima tahun.
Dikutip dari Detik News, anggota Komisi II DPR Fraksi PDIP Deddy Yevri Sitorus menilai aturan tersebut melanggar hak publik untuk memperoleh informasi. Politisi PDI Perjuangan itu menegaskan dokumen pejabat publik seharusnya transparan. "Seharusnya semuanya terbuka bisa diakses publik. Itu bentuk hak warga negara agar tidak membeli kucing dalam karung," kata Deddy, Senin (15/9/2025).
Menambahkan pandangan Deddy, Pengamat Komunikasi Politik Swarna Dwipa Institute Frans Immanuel Saragih menilai sikap KPU perlu dievaluasi dalam komunikasi publik. "Ketika KPU melarang keterbukaan informasi tersebut, lantas bagaimana masyarakat mengetahui kualitas calon pemimpinnya," ujar Frans, Rabu (17/9/2025), dikutip dari Jurnas.com.
Inkonsistensi Komunikasi Merusak Kredibilitas
KPU akhirnya membatalkan Keputusan 731/2025 tentang pembatasan akses publik terhadap informasi capres-cawapres setelah mendapat masukan dari berbagai pihak. Ketua KPU Afifuddin mengatakan pembatalan dilakukan karena mendapat masukan masyarakat dan koordinasi dengan Komisi Informasi Publik terkait data informasi.
Menanggapi hal tersebut, Frans menyoroti inkonsistensi keputusan KPU. Menurutnya, para pemimpin KPU seharusnya memikirkan dampak besar keputusan mereka bagi kehidupan bernegara. "Perlu diingat bahwa KPU adalah sebuah lembaga berperan penting dalam kelangsungan kehidupan demokrasi di negara ini," kata Frans.
Dalam konteks komunikasi publik, mengomunikasikan informasi atau kebijakan kepada masyarakat membutuhkan komunikasi terbuka, transparan, dan responsif untuk membentuk reputasi positif dan memperoleh dukungan berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan penelitian Peran Komunikasi Dalam Menjaga Reputasi (2025) karya Yuel Cahya Dinata dkk. yang menyebut konsistensi pesan menjadi modal kunci membangun citra dan reputasi organisasi, lembaga, atau perusahaan menjadi lebih positif di mata masyarakat.
"Ketidakkonsistenan dapat membingungkan audiens dan merusak reputasi perusahaan atau organisasi, maka lakukan komunikasi konsisten agar audiens memahami nilai-nilai dan pemahaman sama," tulis Yuel dalam risetnya.
Selain konsistensi, transparansi juga menjadi modal utama membangun kepercayan dan loyalitas. Syahirul Alim dalam buku Digital PR: Dasar-Dasar Strategi Komunikasi di Era Digital (2024) menegaskan transparansi memungkinkan organisasi berinteraksi lebih terbuka dengan audiens untuk membangun kredibilitas jangka panjang. (EDA)
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi KPU Dikritik karena Inkonsistensi Keputusan
- Pemkot Banda Aceh Bantah Anggaran Rp679 Juta Digunakan untuk “Buzzer”
- Kementerian KP Yakin Komunikasi Publik Adalah Kunci Keberhasilan “Blue Economy”
- Berjanji Akan Lebih Komunikatif, Ini 5 Langkah yang Harus Diambil DPR RI
- Menyoal Peran Jubir Presiden dalam Demo Akhir Agustus 2025