HOME » EVENT » AWARDS

Strategi Hadapi 'Homeless Media' dan Krisis Digital ala Komdigi

PRINDONESIA.CO | Kamis, 25/09/2025
Sekretaris Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Komdigi, Mediodecci Lustarini di workshop AHI 2025, Rabu, (24/9/2025).
doc/Humas Indonesia

Homeless media membuat pengendalian narasi publik kian sulit bagi humas pemerintahan. Sekretaris Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Komdigi Mediodecci Lustarini, menekankan verifikasi, public apology terstruktur, dan slow thinking sebagai solusi krisis digital.

SURABAYA, HUMASINDONESIA.ID – Perkembangan lanskap media digital menghadirkan tantangan kompleks bagi praktisi humas dalam mengendalikan narasi publik. Termasuk dengan kehadiran homeless dan new media. Hal tersebut yang menjadi sorotan utama Sekretaris Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Mediodecci Lustarini, dalam lokakarya DigiPRO Anugerah HUMAS INDONESIA (AHI) 2025 di Surabaya, Rabu (24/9/2025).

Dalam pemaparannya, perempuan yang karib disapa Ides itu menjelaskan, berdasarkan laporan We Are Social (2025) media sosial seperti YouTube, TikTok, dan WhatsApp telah menggeser peran media konvensional sebagai sumber informasi utama bagi mayoritas masyarakat. Praktis, homeless media pun mendapatkan panggung karena media sosial adalah fondasi aktivitas mereka. 

Meski tidak terikat etika formal sebagaimana media pers, kata Ides, beberapa homeless media seperti terungkap dalam riset Remotivi telah mulai berinisiatif melakukan verifikasi data secara mandiri selayaknya media resmi yang terdaftar di Dewan Pers.

Selain itu, dengan pengaruhnya yang cukup besar, beberapa Dinas Kominfo di daerah juga telah mulai menggandeng beberapa homeless media sebagai upaya menjaga “gawang informasi” agar disinformasi tidak merebak. "Ketika dinas Kominfo melakukan pendekatan lokal dengan homeless media, hal itu (bertujuan) untuk membantu menahan narasi yang salah," jelasnya. 

Seni Meminta Maaf dan Berpikir Jernih

Selain menghadapi media baru, tantangan humas kiwari yang tak kalah besar adalah manajemen krisis, terutama dalam hal permintaan maaf publik (public apology). Menurut Ides, permintaan maaf secara publik belum menjadi hal yang lumrah di Indonesia. Saat terjadi krisis besar di lingkup publik, katanya, respons yang muncul cenderung berupa pengunduran diri pejabat, bukan permintaan maaf institusional yang terstruktur. 

Idealnya, terang Ides, public apology dilakukan dengan berlandaskan diagnosis fakta penyebab, pemahaman terhadap kemarahan publik, penentuan jenis kesalahan, dan rencana perbaikan konkret. Sementara pesan maaf yang disampaikan, imbuhnya, harus berisi pengakuan yang jelas, empati, penyesalan, dan janji perbaikan yang terukur.

Sementara itu dalam situasi krisis yang bergerak cepat, Ides menekankan pentingnya slow thinking atau berpikir perlahan. Konsep yang dipopulerkan peraih Nobel Daniel Kahneman dalam bukunya Thinking, Fast and Slow (2019) menyoroti tentang mengaktifkan mode berpikir analitis dan terukur, alih-alih merespons secara reaktif dan emosional. "Slow thinking bukan berarti menunda berhari-hari, melainkan mengambil jeda terukur untuk analisis mendalam sebelum merilis pernyataan korektif," jelas Ides.

Praktik yang disarankan Ides dalam situasi ini adalah menghentikan sementara rilis pernyataan lanjutan agar tim dapat menganalisis akar masalah menggunakan alat seperti social listening dan social network analysis. Dengan itu aktor utama, pola penyebaran isu, dan kondisi emosional publik dapat diidentifikasi, sehingga respons yang diberikan lebih tepat sasaran dan mampu memulihkan reputasi dalam jangka panjang. (ARF)