Menyoal SLO Sebagai Kunci Utama Keberlanjutan Bisnis Kiwari

PRINDONESIA.CO | Rabu, 22/10/2025
Ilustrasi legitimasi sosial dari masyarakat melalui SLO.
doc/freepik

Keberlangsungan dan keberlanjutan bisnis tak lagi cukup hanya dengan legalitas hukum, tetapi harus didukung legitimasi sosial yang diperoleh dari kepercayaan masyarakat.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO –  Di era keterbukaan dan partisipasi publik seperti sekarang, sebatas legalitas hukum tidak lagi cukup untuk memastikan suatu bisnis diterima oleh masyarakat. Dalam konteks ini, sejumlah pakar lintas sektor berpandangan, perlu adanya legitimasi sosial dari masyarakat untuk bisa mendapatkan kepercayaan publik.

Pandangan tersebut mengemuka dalam diskusi tentang social license to operate (SLO) yang diinisiasi Kiroyan Partners bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Jumat (3/10/2025), di Auditorium Juwono Sudarsono, Kampus UI, Depok.

Dalam forum yang menghadirkan Chairman Kiroyan Partners Noke Kiroyan, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad, dan Guru Besar Sosiologi UI Prof. Dody Prayogo itu, ketiganya sepakat bahwa legitimasi sosial yang diperoleh dari kepercayaan masyarakat setempat sangat penting untuk menjamin keberlangsungan bisnis, proyek, dan infrastruktur. “SLO tidak diperoleh melalui keahlian teknis atau pendekatan ekonomi semata, tetapi melalui kemampuan diplomasi, komunikasi lintas lapisan sosial, serta kepemimpinan bisnis yang adaptif,” ujar Noke dikutip dari siaran pers yang diterima PR INDONESIA, Selasa (21/10/2025).

Dalam konteks membangun kepercayaan, menurut Noke, harus dimulai dari identifikasi pemangku kepentingan secara tepat, dilanjutkan dengan komunikasi terbuka dan konsisten, serta sikap perusahaan yang tidak sekadar menjalankan program tapi juga menunjukkan integritas maupun niat baik secara nyata.

Sejalan dengan itu, Nadia menambahkan pentingnya prinsip free, prior, and informed consent (FPIC). Prinsip tersebut merujuk kepada upaya memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan persetujuan atau penolakan atas proyek yang berdampak pada kehidupan mereka. “Tanpa proses pendekatan bottom-up yang inklusif, proyek industri atau pembangunan akan menghadapi perlawanan sosial dan SLO menjadi kunci agar proyek tidak hanya sah secara hukum, tetapi bisa diterima di masyarakat,” tuturnya.

School of Social Sustainability & Innovation

Sementara itu dalam konteks keberlanjutan suatu bisnis, Prof. Dody menjelaskan, istilah tersebut bukan merujuk kepada konsep statis, tetapi proses dinamis yang menuntut keadilan sosial. Adapun pada praktiknya hari ini, katanya, masih sering ditemukan kesenjangan antara teori dan praktik, khususnya dalam pengukuran dampak sosial dan tata kelola. “Kita terlalu fokus mengukur dampak finansial dan lingkungan, padahal yang paling sulit diukur justru yang paling penting adalah dampak sosial dan perubahan perilaku,” katanya.

Guna mengatasi persoalan tersebut, forum yang diinisiasi Kiroyan Partners bersama FISIP UI ini kemudian meluncurkan School of Social Sustainability & Innovation (SSSI),  sebuah inisiatif akademik yang bertujuan memperkuat kapasitas riset, pendidikan, dan kepemimpinan sosial di sektor bisnis. Melalui pendekatan berbasis riset dan kolaborasi multipihak, SSSI diharapkan menjadi wadah bagi pengembangan tata kelola sosial yang transparan, inklusif, dan terukur.

Sebagaimana disampaikan Guru Besar Antropologi UI Prof. Semiarto Aji Purwanto, SSSI hadir untuk menjembatani kesenjangan dimensi sosial di bisnis dan tata kelola, sekaligus menjadi wadah perpaduan gagasan dan pandangan (school of thought) yang sinergis dalam membangun kepercayaan, tata kelola yang transparan, hingga pengukuran dampak yang menyeluruh.