Jojo, Ketua APPRI: "Stop Bajak-Membajak SDM PR!" (Bag. 3)

PRINDONESIA.CO | Selasa, 23/01/2018 | 2.779
“Baik agensi PR asing maupun lokal sama-sama kekurangan orang yang memiliki kompetensi sebagai PR,” kata Jojo.
Hendra/PR INDONESIA

Kesibukan Suharjo Nugroho makin bertambah. Selain karena ia baru saja dinobatkan sebagai Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) periode 2017 - 2020, pria yang akrab disapa Jojo itu tergerak untuk kembali ke kampus, berbagi ilmu praktis dan tren terkini yang terjadi di lapangan. Semua upaya itu, ia lakukan demi keberlangsungan industri PR.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Seperti ketika pria yang menjabat sebagai Managing Director IMOGEN PR ini kami temui sehari setelah kembali dari mengunjungi universitas di Yogyakarta dan Solo di kantornya di Jakarta, Rabu (13/12/2017). Tak ada guratan lelah di wajahnya, yang ada justru semangat untuk berbagi cerita. Kepada Ratna Kartika dari PR INDONESIA, ayah dua anak ini berkisah tentang ide dan harapannya terhadap dunia PR di tanah air. Berikut ini kutipannya.  

 

Kegiatan apa yang sudah dilakukan setelah Anda ditunjuk sebagai Ketua Umum APPRI pada pertengahan November lalu?

Kami sudah melakukan pertemuan dan membentuk kepengurusan. Beberapa rekan generasi kedua pendiri APPRI, kami libatkan dalam kepengurusan yang baru. Menariknya, mereka semua memiliki semangat yang positif terhadap APPRI di masa depan dan kolaborasi. Padahal saya belum mempunyai manfaat yang bisa ditawarkan kepada mereka. Karena menurut saya, benefit adalah ketika kita bisa membangun dan menjahitnya bersama-sama.

Sementara ini saya sudah menyampaikan agar teman-teman APPRI memberi tahu saya jika ada agensi lokal yang belum kita rangkul. Agensi lokal kami utamakan karena kami ingin kompak dulu di dalam dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Baru kemudian mengundang dan berkolaborasi dengan agensi PR asing.

 

Tidak ada kata persaingan dalam kamus APPRI, ya? 

Kami tidak menutup diri dengan keberadaan agensi PR asing. Kami juga ingin mereka bergabung dengan asosiasi kami. Badan hukum mereka di sini, legalitasnya lokal, kok. Bahkan, ada yang bermitra dengan agensi lokal. Saya menyebutnya, agensi lokal rasa asing.

Secara kompetensi, agensi PR lokal juga tidak kalah. Sering kali kita head to head dengan agensi PR asing, banyak juga di antara agensi lokal yang menang. Jadi, ini bukan soal agensinya dari mana, tapi baik agensi PR asing maupun lokal sama-sama kekurangan orang yang memiliki kompetensi sebagai PR. 

 

Apa yang menjadi fokus utama anggota APPRI di bawah kepengurusan Anda?

Pertama, soal rate card. Kami itu tidak memiliki standarisasi rate card, yang terjadi kemudian adalah perang harga. Kondisi ini merusak dan menyulitkan pelaku agensi PR itu sendiri. Supaya mendapatkan proyek, harga yang ditawarkan menjadi sangat murah, tapi akhirnya sulit dikerjakan dan tidak bisa membayar tenaga kerja profesional sesuai kebutuhan. 

Kedua, PR measurement. Tiap agensi memiliki standar yang berbeda-beda dalam menghitung PR value baik dari sisi kualitatif maupun kuantitatif. Apalagi sekarang media cetak sudah banyak yang tutup. Kami bergantung sama media on-line tapi standar measurement-nya kecil sekali sementara klien masih menggunakan standar yang lama. Akhirnya kami sulit mencapai key performance indicator (KPI).

Ketiga, partner collaboration. Tiap agensi itu memiliki kekuatan masing-masing. Ada yang kuat di bidang digital, marketing, corporate reputation, CSR, sampai media monitoring. Tapi klien tidak mau tahu. Yang mereka mau, satu agensi bisa mengerjakan semua. Karena tidak ingin dilihat tidak mampu, akhirnya dikerjakan semua, tapi dampaknya targetnya tidak tercapai. Jadi, kenapa kita tidak kolaborasi dengan teman-teman yang memiliki kekuatan di bidang yang tidak kita kuasai. Nanti tinggal disepakati saja pembagiannya. Lagipula sekarang eranya kolaborasi, bukan kompetisi. 

Lainnya, soal sertifikasi perusahaan PR dan standar kompetensi konsultan PR.

 

Di antara sekian banyak program tadi, poin mana yang akan menjadi prioritas APPRI dalam waktu dekat?

Tiga yang di atas tadi karena berhubungan langsung dengan bisnis.  

 

Bagaimana dengan isu eksternal?

Soal Dewan Kehumasan, Kode Etik PR dan klien-klien nakal. Banyak lho, proyek sudah selesai tapi tidak dibayar, atau bayarnya pakai voucher. Termasuk, pengalaman saya bersama teman-teman di IMOGEN PR. Kami pernah, lho, dibayar pakai voucher donat. Kalau kita bersatu kita punya daftar klien-klien yang nakal ini, kami bisa advokasi ke pengadilan—bukan hanya di-blacklist, tapi mesti diberi pelajaran.

 

Bagaimana soal PR yang memiliki kode etik profesi yang berlaku dan diakui secara nasional?

Kita butuh kode etik profesi PR nasional. Masa profesinya sudah mantap tapi kode etik nasional tidak ada. Saya sudah teriak, tapi tidak ada yang dengar. Sepertinya di Indonesia kalau belum ada kasus, belum urgent.

 

Ini artinya APPRI akan terus memperjuangkan sampai PR memiliki kode etik?   

APPRI akan concern mengenai hal itu. Kalau bicara soal kode etik, sebenarnya kami sudah mempunyai kode etik asosiasi. Kenapa kode etik PR ini menjadi penting? Karena kita memasuki era hoaks. Sementara yang mempunyai formula membuat hoaks adalah PR. Mereka tahu bagaimana menggunakan media sosial, perilaku warganet, membuat konten, membaca data dan analisis. Kalau tidak ada aturan mainnya, akan ada kemungkinan PR menjadi tukang pelintir, tapi tidak merasa kalau perbuatan itu tidak dibenarkan karena tidak ada kode etik yang mengatur.

 

Tahun depan kita memasuki tahun politik. Apa yang bisa dilakukan PR di saat perhatian masyarakat terpusat di panggung politik?

Ketika situasi politik mulai memanas, bisnis biasanya lebih banyak wait and see. Mereka akan menahan diri untuk melakukan peluncuran produk atau kampanye. Tapi yang namanya corporate reputation tetap harus dibangun dalam kondisi apa pun. Bahkan, lebih relevan saat situasi politik sedang memanas. Sebab, kita tidak pernah tahu kalau tiba-tiba perusahaan atau pimpinan kita terseret ke dalam arus politik.

Ingat ketika kasus Sari Roti menjadi Sori Roti? Perusahaan tidak terlibat di dalam peristiwa itu, tapi ada gerobaknya yang sedang berada di tempat kejadian. Jika kita tidak cepat dan tidak tepat menangani, ada kompetitor yang sudah siap riding the moment.  

Yang terpenting, lakukan mapping. Kita tidak mesti bermain di situ, tapi pahami peta politiknya, isu yang aman untuk dimainkan. 

 

Program PR apa yang potensial digarap dan tetap didengar publik di tengah hingar bingar politik?

Program CSR, hal-hal yang berbau humaniora dan ringan. Sebab, adakalanya publik bosan dengan informasi seputar politik. Tentu, dikemas dalam bentuk storytelling. Hal-hal humaniora inilah yang lebih banyak “dimakan” publik tanpa kita harus mengatakan perusahaan kita memiliki reputasi yang bagus di mata publik. 

 

Siapa yang paling mendapat keuntungan di tahun politik? 

Tahun politik akan dimanfaatkan oleh praktisi PR yang bergerak di bidang politik. Tidak semua PR bisa menjadi PR di bidang itu. Kalau kita tidak terbiasa, tidak mengetahui dan memahami rambu-rambunya, kita bisa terjerembab. Kalau tidak memiliki integritas, kita bisa jadi tukang hoaks yang memecah belah bangsa.

Jadi, saya menyarankan, untuk praktisi PR yang tidak terbiasa main di area itu, lebih baik jangan. Kalaupun mau, pahami rambunya, gandeng ahli, dan bermitra dengan rekan yang sudah berpengalaman bergerak di bidang tersebut. (rtn)