Bagi Risma, sapaan karib Walikota Surabaya Tri Rismaharini, humas adalah corong, mata, dan telinganya. Mereka harus tahu lebih dulu ketimbang dirinya.
SURABAYA, PRINDONESIA.CO - Sebenarnya Risma sudah sedari lama melihat peran strategis humas/public relations (PR). Jauh sebelum ia menjadi walikota. Namun, karena ketika itu masih berstatus pegawai aparatur sipil, ia tidak memiliki PR. Sehingga, segala sesuatunya ia komunikasikan sendiri.
Risma baru benar-benar mengerahkan fungsi PR ketika menjabat sebagai walikota, delapan tahun lalu. Ada dua pesan kunci yang ia sampaikan kepada humas agar mereka dapat berfungsi maksimal. Pertama, humas harus mengerti semua. Kedua, humas harus tahu lebih dulu karena mereka adalah corong, mata, dan telinga pimpinannya.
Mereka pula yang bertugas menjelaskan segala sesuatu yang sudah dilakukan pemerintah. “Kalau saya rasa ada yang tidak benar, merekalah mulut saya yang pertama. Humas yang harus bisa menjelaskan yang tidak benar itu kepada publik,” katanya Kepada Asmono Wikan, Lila Intana, dan Mellisa Purnamasari dari PR INDONESIA di ruang kerjanya, Balaikota Surabaya, Jumat (6/4/2018).
Humas mesti bisa menjelaskan kalau memang sesuatu (masalah) itu benar dan meluruskan kalau salah. “Jangan pernah ada rekayasa,” tegasnya. Sebelum menyampaikan informasi ke publik, humas seharunya memiliki data yang mumpuni.
Di sisi lain, humas pulalah yang menjadi kunci keberhasilan terbangunnya trust di masyarakat. Risma memang sangat serius menyorot soal trust ini. Ia pun bercerita sulitnya membangun kepercayaan di awal-awal kepemimpinannya. Pemberitaan di media cenderung tidak fair. Ada saja pihak-pihak yang memvonisnya baik secara institusi maupun pribadi.
Ketika itu, ia meminta humas untuk menjelaskan dan meluruskan informasi yang tidak benar. Bahkan, kalau perlu—karena sudah sangat merugikan-- dibawa hingga ke ranah hukum. Langkah tegas itu ia lakukan semata-mata karena tidak ingin masyarakatnya dibuat bingung. Sebab, jika tidak ada trust terhadap pemerintah, tidak akan ada partisipasi dari rakyat.
Faktor tak kalah penting untuk membangun trust tentu saja kerja nyata. Maka ketika mendapat laporan, segera cek kebenarannya, lalu selesaikan secepat dan seefektif mungkin. Apalagi kalau urgensinya tak bisa ditawar, seperti soal urusan hidup dan mati. “Kalau kita kerjanya real untuk masyarakat, maka mereka tidak akan mudah digoyang dengan apa pun dan relatif tidak perlu mengeluarkan banyak uang,” katanya. Inilah aspek kedua yang memengaruhi trust. Ketika masyarakat sudah merasakan manfaat kehadiran (layanan) dan percaya pada pemerintah, masyarakat tidak akan mudah terpengaruh.
Beri Pemahaman
Lainnya yang tak kalah penting dalam membangun trust adalah menjelaskan (program atau masalah) kepada publik. Upaya memberi penjelasan atau pemahaman kepada masyarakat itu harus dilakukan secara konsisten dan berulang-ulang.
Agar paham, jangan merasa paling benar. Ajak masyarakat untuk ikut berpikir dan mengerti akar permasalahannya. Contoh, ketika Risma merespons keluhan warga tentang banjir. “Mungkin kerja saya belum benar 100 persen (oleh karena itu masih terjadi banjir). Tapi, coba lihat, saya menemukan dari tumpukan sampah ada sampah kasur di dalamnya. Ini bagaimana?” ujarnya balik bertanya.
Sebenarnya, Risma mengaku, masyarakat kalangan bawah relatif lebih mudah untuk menerima dan melakukan perubahan ketimbang kelas menengah ke atas. Sementara segmen tanggung yang susah ditantang bergerak ke arah lebih baik. Faktornya, karena mereka sudah terbiasa berada di zona nyaman. Kepada segmen khusus ini, biasanya ia harus menjelaskan lebih detail dari mulai latar belakang sampai tujuan yang ingin dicapai, serta mendengarkan lebih banyak.
Dalam memberikan pemahaman, Risma menggunakan semua saluran komunikasi. Meski, secara pribadi, ia melihat lebih banyak keuntungan yang didapat apabila komunikasi dilakukan secara langsung dan tatap muka. “Mereka bisa merasakan apa yang kita mau, sementara saya bisa mengetahui bagaimana respons mereka,” katanya. Namun, hal itu tidak bisa sering dilakukan karena keterbatasan dari sisi waktu.
Kelak di akhir masa jabatannya, tepatnya tahun 2020, Risma membayangkan warganya sudah sejahtera dan tidak bingung. Maksudnya, tidak bingung mencari sekolah untuk anaknya, tidak bingung ketika sakit, tidak bingung mencari nafkah, dan tidak bingung ketika pensiun.
Kepada para pemimpin di negeri ini, Risma menekankan pentingnya melakukan pendekatan kepada masyarakat. Salah satunya, dengan cara melakukan komunikasi yang berisi. Yakni, meyakinkan kepada masyarakat bahwa semua yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk membuat perubahan yang lebih baik. (asw/rtn)
- BERITA TERKAIT
- Budi Wahju Soesilo, Dirut Pupuk Kaltim: Mengawal Ketahanan Pangan Melalui Produksi & Distribusi Pupuk
- Agus Cahyono Adi, Kementerian ESDM: Peran Strategis Humas Kementerian ESDM
- Komitmen Peningkatan SDM, Dirut PGE Raih Penghargaan HCPA 2023
- Dirut Pertamina Nicke Widyawati Jadi Satu-satunya Wanita ASEAN di Most Powerful Women 2023
- Presdir Unilever Indonesia Raih Asia's Most Inspiring Executives dari ACES Awards