Ketika Data Bercerita

PRINDONESIA.CO | Senin, 20/01/2020 | 3.422
Ada tiga unsur untuk menyampaikan informasi menjadi storytelling. Antara lain, data pendukung, visualisasikan, serta narasi atau cara menyampaikan konteksnya.
Dok. Istimewa

Kemampuan menyulap data menjadi sebuah cerita atau yang disebut dengan data storytelling dianggap menjadi suatu keahilan yang wajib dimiliki oleh para praktisi public relations (PR) di era 4.0.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Umumnya data awal yang diperoleh PR dari bidang lain masih berupa data mentah yang terpecah-pecah. Sebelum mengolahnya menjadi sebuah informasi yang akan disebarluaskan kepada audiens, terlebih dahulu PR harus memetakan data mana yang akan digunakan. Selanjutnya, PR masih harus menghubungkan/mengorelasikan data tersebut hingga menjadi sebuah informasi yang mudah dicerna.

Informasi itu diharapkan mampu menjadi suatu pengambilan keputusan atau wisdom serta pengetahuan baru, baik bagi perusahaan maupun publik. Menurut Christian Angkasa, Analytics and Decision Making Division Head Bank OCBC NISP,  ada tiga unsur untuk menyampaikan informasi menjadi storytelling. Antara lain, data pendukung, visualisasikan, serta narasi atau cara menyampaikan konteksnya.

 

Kenali Lima Prinsip

Lebih lanjut, Christian saat menjadi pembicara dalam acara DISRUPTO 2019 dengan tema “Data Storytelling for Everyone” di Jakarta, (22/11/2019), memaparkan bahwa diperlukan lima prinsip dalam membuat sebuah data storytelling.

Prinsip pertama, ketahui audiens yang akan disasar. Masyarakat Indonesia tidak hanya datang dari latar belakang yang berbeda, tetapi juga ketertarikan serta tingkat pemahaman yang berbeda pula. Ia lantas membagi karakteristik audiens ke dalam lima tipe.

Tipe yang dimaksud meliputi tipe pemula (ingin mendapat informasi secara keseluruhan dan mendetail), generalist (ingin tahu informasi yang sifatnya high level saja), specialist (tercermin dari pertanyaan yang diajukan biasanya disampaikan secara mendalam), supervisor (hanya ingin mendapat informasi yang bisa menimbulkan aksi dari data yang disampaikan). Terakhir, tipe eksekutif (selektif mulai dari mencari tahu siapa yang akan menyampaikan informasi, terkait latar belakangnya, sehingga yang bersangkutan bisa lebih percaya dengan informasi yang disampaikan).

Prinsip kedua yang harus diterapkan adalah informasi akan lebih mudah diterima jika berupa kontras. Untuk membandingkan data dalam bentuk grafis, PR bisa menggunakan bar chart atau circular area chart. Sementara itu, untuk menujukkan komposisi dari keseluruhan data akan lebih mudah dipahami jika menggunakan pie chart atau stacked area chart. Adapun bar histogram chart dan scatter plot digunakan pada saat kita hendak menunjukkan data distribusi.

Prinsip ketiga, PR harus mampu menyampaikan informasi yang bisa ditangkap dalam hitungan detik. Prinsip keempat, kembangkan suatu cerita. Setelah grafik berhasil dibuat, tugas PR selanjutnya ialah merangkai grafik tersebut ke dalam sebuah rangkaian cerita. Prinsip terakhir, lakukan engagement secara emosional agar mudah diingat oleh audiens baik dari sisi warna maupun grafik. Pembaca cenderung lebih tertarik dengan tampilan grafik yang lebih sederhana, dalam arti pilihan warna dan langsung menangkap isi yang paling dramatis. “Efek dramatis ini biasanya membuat orang lebih senang mendengar ceritanya dibandingkan membaca data itu sendiri,” jelasnya.

Pemanfaatan data yang didukung dengan teknologi 4.0 seperti big data dan machine learning, menurut Christian, tak lain bertujuan untuk mengolah data menjadi lebih akurat serta memberi konteks yang lebih tepat tentang apa yang dirasakan oleh para pelanggan terhadap pelayanan perusahaan. Mulai dari mengenal pelanggan lebih jauh (know your customer), mengetahui tingkat kepuasan pelanggan (customer satisfaction), pengalaman pelanggan (customer experience), hingga performa perusahaan. (ais)