Rambu-rambu Berkolaborasi dengan “Influencer”

PRINDONESIA.CO | Selasa, 31/03/2020 | 1.060
Sejatinya yang dicari seorag influencer bukan seberapa banyak jumlah pengikut mereka. Tapi koneksi tang mereka bangun dengan para pengikutnya.
Dok. Istimewa

Ada ragam cara mengomunikasikan produk/brand perusahaan secara kreatif dan tepat sasaran. Salah satunya, menggandeng orang-orang berpengaruh di media sosial, atau dikenal dengan sebutan influencer

 

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Timbul pertanyaan kemudian, apakah influencer benar-benar bisa memengaruhi pengikutnya? Inilah pertanyaan yang mengemuka di acara Social Media Week (SMW) di Jakarta, akhir tahun lalu. 

Menurut Managing Director Gushcloud Indonesia Oddie Randa, tren influencer di Amerika Serikat (AS) bermula dari kreator konten. Mereka mengambil peran layaknya public relations (PR) dengan cara menginspirasi pengikutnya untuk mengikuti suatu gaya hidup. Cara ini mewabah. Alhasil, konten-konten di negeri Paman Sam ini fokus pada softselling. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. 

Hasil pengamatan Gushcloud, perusahaan agensi digital dengan spesialisasi influencer marketing ini selama kurun waktu tiga tahun terakhir terjadi pertumbuhan yang sangat signifikan terhadap influencer di Indonesia. Apalagi dengan adanya YouTube, Instagram, maupun Facebook. Keberadaan media sosial tersebut mendukung dan mampu mengangkat nama mereka. 

Kondisi ini mengarahkan pada tren content first environment. Maksudnya, yang lebih diutamakan adalah konten yang bagus. Tren ini dianggap sangat memusatkan pada eyeballs reach dan engagement. Artinya, fokus pada tahap membangun awareness dan interest saja, namun tidak sampai pada tahap consideration (mempertimbangkan) apalagi conversion (konversi/perubahan). “Kita sebagai brand kadang berpikir, tidak mungkin selamanya hanya sampai awareness dan interest. Harus maju sampai ke tahap consideration dan conversion,” ujarnya.

Objektivitas
Untuk sampai ke tahap itu, Oddie memberi tips. Pertama, temukan objektivitas dari kampanye yang ingin dilakukan. Awareness, interest, considerations, atau conversion. Setelah itu aktif mengukur engagement yang dilakukan oleh influencers. Dalam beberapa kasus, PR bahkan perlu mengisolasi kampanye yang hanya menggunakan jasa influencer dan menutup kanal promosi yang lain. 

Kedua, temukan influencer, strategi, dan panggung yang tepat. Untuk menemukan orang-orang berpengaruh di media sosial yang tepat dalam membangun awareness ini bisa dilakukan dengan cara mengombinasikan antara jumlah pengikut, tingkat interaksi dengan rata-rata komentar per unggahan. Sementara untuk influencer yang tepat dalam membangun interest (minat) bisa dilihat dari fokus unggahan mereka. Seperti musik, fesyen, makanan, atau kecantikan. Selanjutnya, kombinasikan dengan persentasi dari ketertarikan audiens mereka.

Menurut Oddie, sejatinya yang dicari dari seorang influencer itu bukan seberapa banyak jumlah pengikut mereka. Tapi, koneksi yang mereka bangun dengan para pengikutnya. Baginya, influencer yang rajin berinteraksi dengan audiensnya, seperti membalas komentar atau sekadar mengunggah ulang Instagram Story pengikut mereka, memiliki kesempatan lebih besar untuk menginspirasi sebuah aksi. Contohnya, membeli produk.
 
Adapun yang dibutuhkan oleh influencer tak lain status sosial. Maka, cara PR merangkul mereka harus lebih dari sekadar media buying. “PR harus menguasai kemampuan bernegosiasi dan mengelola hubungan. Libatkan mereka lebih jauh,” imbuhnya. (ais)