Pemimpin Redaksi Kompas.com Wisnu Nugroho berkata, kita harus menulis sejarah dengan selalu hadir, reacheable dan bermanfaat. Masa pandemi ini akan dikenang dalam memori kolektif dan peradaban manusia. Dan, saya tak ingin jadi penonton saja.
Oleh: Emmy Kuswandari, National Media, Global Communications APP Sinar Mas dan anggota Bidang Pelatihan dan Keanggotaan BPP PERHUMAS
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Hari ini menjadi hari ke 61 bagi saya tinggal di rumah. Mengakrabi teknologi informasi dan belajar tertatih menggunakan berbagai platform media interaksi yang disediakan internet mulai dari Zoom, Microsoft Teams, Google Meet, termasuk juga berinteaksi live di Instagram dan Facebook.
Buat saya, sosial media sebelum pandemi adalah media aktualisasi diri secara informal. Tetapi, saat korona datang, ia pun bisa dimanfaatkan menjadi tempat untuk berbagi pengetahuan.
Pas hari ini tercatat ada 99 jadwal pertemuan webinar yang saya ikuti, ditambah dengan kelas menulis, kelas belajar bahasa Indonesia dan meditasi. Nyaris setiap hari ada tiga sampai lima pertemuan yang saya ikuti di luar pekerjaan kantor.
Narasumbernya beragam, beberapa pembicara dari luar negeri yang kalau kita ikuti kelasnya sangat mahal biayanya. Temanya kaya mulai dari soal pandemi, terorisme, public relations, bahkan hingga kisah “kiamat” serangga yang diselenggarakan redaksi Majalah National Geographic Indonesia.
Saya selalu takjub. Setiap diskusi, pesertanya bisa puluhan hingga ratusan. National Geograpic, misalnya, dalam salah satu diskusinya pernah mencapai 436 peserta. Diskusi dengan kualitas suara yang bagus, peserta yang anteng mendengarkan dan berinteraksi dengan emoticon yang ada dalam diskusi on-line.
Saya cukup beruntung berjumpa dengan komunitas fasilitator. Mereka menggelar diskusi rutin tentang bagaimana memfasilitasi diskusi di dunia maya lengkap dengan ice breaking, jamboard, idea board, breakoutroom, bahkan menggunakan www.menti.com untuk mengukur atau mendapatkan umpan balik dari peserta secara langsung.
Dengan berbagai tools tersebut, peserta bisa menuliskan gagasan, ide atau perasaannya mirip di kertas yang biasa kita tempel saat mengadakan workshop nonvirtual. Bahkan, peserta yang banyak bisa dibagi menjadi kelompok kecil dan digiring masuk ke kamar-kamar diskusi. Di sini, peserta bisa cerita lebih dalam baik melalui video, chat atau pun menggunakan tools tadi. Mirip dengan diskusi kelompok yang kita lakukan saat pelatihan. Nyaris tak ada beda. Pembedanya kita tak jumpa secara fisik saja.
Belajar dan Beradaptasi
Tentu saja ini hal yang baru buat saya. Tertatih-tatih saya belajar satu persatu. Termasuk belajar etika untuk pertemuan-pertemuan virtual seperti ini seperti baju, latar belakang tampilan di layar, memberikan tepuk tangan virtual, apresiasi melalui jempol digital dan mengangkat tangan untuk izin bertanya. Tak jumpa secara fisik, bukan berarti kita bisa seenaknya.
Dalam waktu dua bulan di rumah saja, pertemanan baru saya justru bertambah banyak dengan komunitas yang sangat beragam. Dan enaknya, saya bisa berteman tanpa perlu bertanya detail yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya karena kami dipertemukan oleh hobi, diskusi tema-tema tertentu, kelas menulis atau kelas meditasi.
Bahkan, ada satu sesi saya menjadi buddy untuk orang yang belum pernah saya kenal dalam kelas penulisan. Sebagai buddy, tugas saya untuk menyemangati, atau berbagi draf tulisan dalam google sheet. Ketika kelas penulisan usai, pertemanan kami justru hangat oleh diskusi-diskusi lain. Ini sangat menyenangkan.
Beruntung saya move on setelah selama dua minggu galau harus bekerja dari rumah. Dari mencari spot kerja yang nyaman di rumah, berbagi pekerjaan domestik, hingga tetap mengusahakan me time agar tak jenuh berhadapan dengan laptop terus berjam-jam, bahkan ketika jam kantor telah usai.
Bekerja dari rumah justru menjadi saat yang lebih sibuk dan produkstif buat saya. Menghilangkan tiga jam macet perjalanan bolak balik dari rumah ke kantor setiap harinya. Termasuk, tetap berinteraksi dengan anak.
Kalau bosan, saya cukup matikan kamera video pada saat pertemuan, dan melipir ke dapur untuk membuat minuman atau membuat adonan kue tanpa perlu ketinggalan informasi. Pengeras suara di laptop saya besarkan dan membiarkan anak saya ikut mendengarkan. Di banyak kelas yang saya ikuti, anak saya menjadi peserta tak terdaftar karena ia ikut mendengarkan. Kadang kami berdiskusi tema tersebut usai kelas.
- BERITA TERKAIT
- Kunci Utama Memimpin Tim Tetap Solid di Tengah Krisis Komunikasi
- Demokrasi di Meja Makan
- Peran Pengelolaan “Stakeholder” Mendukung Penerapan ESG dan Keberlanjutan
- Pentingnya Juru Bicara dalam Membangun Kredibilitas IKN
- Begini Rahasia Sukses Konferensi Pers