Perkembangan teknologi informasi seharusnya tidak hanya dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi selama pandemi. Tetapi, menjadi kunci untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Banyak yang beranggapan permasalahan yang dihadapi masyarakat selama pandemi adalah isolasi diri. Namun, menurut Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers Agus Sudibyo, isolasi ini hanya terjadi secara fisikal. Secara pikiran dan jaringan, tidak sama sekali. “Semua itu dimungkinkan karena adanya teknologi,” kata pria yang menjadi pembicara saat gelar wicara virtual yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI), Selasa (12/5/2020).
Teknologi membebaskan orang-orang yang terisolasi secara fisik untuk dapat berselancar ke manapun, mencari apapun, berkomunikasi dengan siapapun, dan mengikuti perkembangan dari belahan dunia mana saja.
Sistem bekerja dari rumah atau work from home justru memicu produktivitas dan intensitas interaksi dengan dunia luar. Hal ini dikarenakan masyarakat hanya perlu duduk, mengakses gawai dan koneksi internet di rumah masing-masing untuk bekerja. Tidak lagi terhalang oleh waktu dan jarak perjalanan.
Jadi, dapat disimpulkan Covid-19 dan perkembangan teknologi informasi mengubah cara hidup dan berinteraksi masyarakat dengan cukup dramatis. “Lebih dari itu, teknologi informasi juga bisa menjadi kunci untuk menyelesaikan pandemi ini,” ujar Agus.
Solusi Teknologi
Pria yang merupakan Kepala Departemen Keilmuan Terapan ISKI Pusat ini memberikan contoh yang dilakukan oleh Cina. Negara yang menjadi titik awal penyebaran Covid-19 ini dianggap sebagai salah satu negara paling sukses menangani Covid-19. Negeri yang dikenal dengan nama Tiongkok itu mengendalikan pandemi dengan menggunakan teknologi informasi yang bertumpu pada tiga hal. Antara lain, digital surveillance, akurasi algoritma, dan big data analysis.
Ketiga hal ini dipadukan dalam bentuk aplikasi. Semenjak Covid-19 menyebar, Cina membuat aplikasi yang harus dimiliki oleh seluruh rakyatnya, termasuk warga negara asing yang sedang berada di negeri tersebut.
Aplikasi ini meminta data kondisi tubuh setiap orang. Data ini kemudian terkoneksi dengan basis data (database) yang secara sentralistik dikelola oleh negara. Inilah yang disebut dengan digital surveillance atau pengawasan digital. Artinya, negara akan terkoneksi secara real-time dengan siapapun yang sedang on-line. Akurasi dan big data analysis kemudian menjadi bahan agar data yang masuk dapat diolah dengan cepat. Sehingga negara bisa memberikan reaksi yang tepat untuk menangani dan menghindari penyebaran Covid-19 yang lebih luas.
Kebijakan Cina untuk melakukan digital surveillance ini sebenarnya cukup menjadi paradoks. Sebab, jika dilihat dari sudut pandang lain memunculkan yang disebut sebagai digital panopticon. Internet menjadi semacam “penjara raksasa”. Semakin aktif seseorang secara on-line, semakin menjadi obyek pengawasan.
Namun, pandemi Covid-19 merupakan kasus khusus, dan Negeri Tirai Bambu dinilai mengambil langkah yang tepat dengan menggunakan digital surveillance sebagai senjata utama untuk mengetahui, mengawasi dan mengendalikan keadaan kesehatan semua orang yang berada di negaranya. Belajar dari pengalaman Cina tersebut, sudah siapkah Indonesia memasuki era normal baru? (den)
- BERITA TERKAIT
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab
- Dorong Kecakapan Komunikasi, Kementerian Ekraf Apresiasi Kelas Humas Muda Vol. 2