Maksimalkan PESO dengan Cara Ini

PRINDONESIA.CO | Senin, 09/08/2021 | 2.727
Konten harus bisa membawa kebaikan buat audiens, sehingga akun kita akan disayang dan dijadikan rujukan dalam mencari informasi terbaru.
Dok.Istimewa

Tantangan yang harus dihadapi oleh praktisi PR ketika memasuki era VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity) kian menantang. Komunikasi kini tidak lagi dipandang sebatas fungsi pendukung, melainkan bagian dari kebijakan.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO -  Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari, saking pentingnya fungsi komunikasi di kementerian yang dipimpin oleh Sri Mulyani itu, humas selalu hadir di setiap agenda rapat pimpinan. Bahkan, terdapat kebijakan yang mengharuskan setiap unit untuk melampirkan konsep strategi komunikasi sebelum sebuah peraturan/kebijakan itu diterbitkan.

“Komunikasi di Kemenkeu itu bagian dari kebijakan. Dulu, kami sering mendapat terguran kalau komunikasi itu dilakukan setelah kebijakan dirilis ke publik,” ujar perempuan yang akrab disapa Puspa itu saat mengisi diskusi MAW Talkshow bertajuk “Energi Kebaikan & Komunikasi Empatik”, Rabu (28/7/2021).

Tuntutan ini lantas memaksa PR untuk selalu sensitif dalam menentukan isu-isu apa saja yang dinilai di luar posisi alias offside dan perlu ditindaklanjuti. Beruntung, Biro KLI selalu diberikan ruang untuk memberikan masukan dan rekomendasi.

Ia tak memungkiri, tantangan ini tak mudah apalagi dilakukan di tengah masa sulit, pandemi COVID-19, digitalisasi, serta adanya generasi baru. Makin tak mudah, karena PR dituntut beradaptasi dari platform konvensional ke digital, sekaligus mengikuti perubahan perilaku generasi dalam mengakses informasi. Namun, di sisi lain pandemi telah memaksa humas pemerintah menyadari makna penting kolaborasi. Seperti halnya Kemenkeu yang menjadikan 80 ribu karyawannya sebagai agen komunikasi.

Belum lagi soal adanya gap kompetensi/kapasitas antar SDM. Guna menyiasati gap yang ada, PR perlu melakukan beberapa hal. Pertama, melakukan pelatihan setiap waktu mengikuti perkembangan yang terjadi. Kedua, mengembangkan segala sesuatu yang bersifat platform based. Ketiga, didukung dengan tata kelola/KPI yang jelas. “Karena kita di pemerintahan selain output based juga process based harus diperhatikan,” katanya.

PESO

Bicara soal platform media, PR mengenal teori PESO (paid, earned, shared, owned). Menurut Steve Saerang, SVP Corporate Communication Indosat Ooredoo, pada dasarnya PESO hanya fokus pada tiga media. Yakni, paid, earned, dan owned media saja. Sedangkan shared media merupakan tujuan utama yang ingin dicapai dari penggunaan ketiga media tadi. Yaitu, retweet, repost, regram, mengubah dari artikel biasa menjadi IG Story maupun konten TikTok, dan sebagainya. “Shared media itu seperti word of mouth, tidak bisa kita kontrol,” ujarnya.

Tapi, PR bisa menyusun strategi dari tiga kanal media tadi agar bisa sampai pada values dari shared media. Steve merangkumnya ke dalam empat tips. Pertama, konten yang sesuai. Kedua, fokus penawaran ke pelanggan secara spesifik. Ketiga, keep it fresh. Keempat, untuk paid, fokus pada berapa banyak anggarannya. Sementara earned terkait upaya membangun kepercayaan dan visibilitas dari media ataupun influencer. Adapun owned, memicu rasa ingin tahu.

Dengan demikian PR bisa fokus pada shared media yang nantinya bisa menjadi word of mouth. Sehingga, semua orang membicarakan produk/tema yang kita angkat. “Yang jelas, konten harus bisa membawa kebaikan buat audiens, sehingga akun kita akan disayang dan dijadikan rujukan dalam mencari informasi terbaru,” pungkasnya. (ais)