Pada dasarnya, praktisi public relations (PR) dituntut menjalankan dua fungsi yang saling berseberangan. Namun, kedua fungsi itu harus dijalankan seimbang. Apa itu?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Kedua fungsi yang dimaksud, yakni menceritakan tentang sisi positif dari organisasi/brand dan menyampaikan hal-hal yang bersifat negatif, seperti krisis yang tengah menimpa perusahaan kita.
Menurut Asmono Wikan, founder dan CEO Majalah PR INDONESIA, kedua fungsi ini harus dijalankan secara seimbang. Bahkan, banyak ahli yang menyebutkan bahwa PR itu baru dikatakan benar-benar bekerja ketika berhadapan dengan krisis. “Jadi, kalau PR hanya difungsikan untuk sekadar menyampaikan informasi tentang kinerja positif, maka dia belum cukup teruji,” ujarnya saat mengisi Sarasehan Kehumasan Rumah Sakit oleh Perhumasri, Sabtu (21/8/2021).
Untuk itu, PR harus memastikan bahwa setiap informasi yang keluar merupakan informasi kebenaran, berdasarkan fakta dan akurat. Apalagi jika hal itu menyangkut data dan angka seperti jumlah pasien terkonfirmasi COVID-19. Di sisi lain, menurut pria yang juga merupakan CEO MAW Talk tersebut, satu isu yang masih menjadi pekerjaan rumah besar praktis PR adalah belum banyak PR yang mampu menjadi penasihat atau konsultan bagi pimpinannya dalam konteks komunikasi.
Ia lantas merangkum empat poin yang harus dimiliki praktisi PR yang strategis. Pria yang merupakan Sekjen SPS Pusat ini merangkumnya ke dalam akronim AREK. Antara lain:
Adaptasi
Mengutip pernyataan Nikolas Jintri, “adaptation is the key to survival”. Tidak dapat dipungkiri, pandemi COVID-19 memaksa kita semua untuk mampu beradaptasi dengan situasi. PR bisa berangkat dari menjawab satu pertanyaan mengapa (why) untuk mencapai brand purpose organisasi. Mengapa organisasi kita harus beradaptasi? Apa fungsi-fungsi baru yang timbul dari organisasi di masa pandemi COVID-19?
Setidaknya, ada enam circle dalam merancang inisiatif adaptasi. Pertama, mendefinisikan masalah. Kedua, mengidentifikasi penyebab. Ketiga, mengidentifikasi dan mengartikulasikan respon normatif. Keempat, mengidentifikasi hambatan. Kelima, merumuskan hasil yang diharapkan. Keenam, tinjau langkah-langkah dan daftar periksa lengkap.
Inovasi
Inovasi merupakan repsons untuk tetap dapat bergerak dan mencoba tumbuh. Ada sepuluh tipe inovasi meliputi model keuntungan, jaringan/network, struktur, proses, performa produk, sistem produk, layanan, kanal, brand/merek, serta customer engagement.
Relevansi
Setiap organisasi harus mengecek kembali apakah positioning, visi dan misi, fungsi, prosedur, dan layanan yang dimilikinya masih relevan dengan kondisi saat ini. Termasuk seluruh proses, produk, dan tindakan komunikasi yang dilakukan. PR bisa memulainya dengan menjawab pertanyaan apa yang membuat perusahaan anda masih relevan hari ini, terutama di masa pandemi dan setelahnya? Apa saja fungsi-fungsi di dalam organisasi yang sudah tidak relevan sehingga perlu didisrupsi dengan fungsi baru untuk menjawab kebutuhan pelanggan?
Empati
Di era apapun, praktik PR seyogyanya menempatkan hati sebagai driver komunikasi. Karena, ketika kita mengomunikasikan pesan melalui platform apapun mulai dari kata hingga kalimat perlu dikemas dengan bahasa/ungkapan yang empatik agar tidak menimbulkan dampak irreversible. “Kerja komunikasi itu membutuhkan kehati-hatian,” ujarnya.
Kolaborasi
Menghadapi era yang penuh dengan ketidakpastian ini, PR tidak bisa bekerja sendiri. Perlu kolaborasi dengan stakeholders sisi internal maupun eksternal. Namun, tantangan terberat dalam berkolaborasi adalah mendudukkan ego sektoral ke dalam equal positioning/interest. “Kolaborasi membutuhkan kesamaan tujuan (purpose) dan keinginan (need),” pungkasnya. (ais)
- BERITA TERKAIT
- Tiga Institusi asal Indonesia Jadi Pemenang di Ajang AMEC Awards 2024
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab