Kode Etik Bermedia Sosial

PRINDONESIA.CO | Rabu, 08/06/2022 | 1.184
Anjari Umarjianto, Ketua Umum Perhumasri: “Bukan berarti RS melarang untuk bermedia sosial, tapi gunakan secara bijak.
Dok.Istimewa

Masih soal konten TikTok milik nakes yang menjadi viral, Ketua Kompartemen PR dan Marketing Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) itu lantas membagikan tiga tata cara etis sebelum mengunggah konten di media sosial. Apa saja?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Masih ingat kasus konten TikTok yang dianggap kurang pantas yang diunggah oleh tenaga kesehatan (nakes) dan berujung viral? Kondisi ini tentu saja memprihatinkan. Apalagi nakes adalah representatif RS.

Menurut Ketua Kompartemen PR dan Marketing Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Anjari Umarjianto, sebenarnya ada tiga tata cara etis sebelum mengunggah konten di media sosial. Ketiganya dijabarkan olehnya saat mengisi Perhumasri Class bertajuk “Ingin Eksis Malah Krisis, Bagaimana Konten Rumah Sakit Tidak Bermasalah secara Etika dan Hukum”, Selasa (7/6/2022).   

Pertama, PR bisa memulainya dengan menjawab pertanyaan, “Apakah konten kita bersifat baik?” Baik di sini maksudnya tidak melanggar etika dan hukum.  Kedua, “Apakah konten tersebut bersifat penting untuk saya, RS, maupun orang lain?” Ketiga, “Apakah konten saya bersifat urgent (penting)?”

Lantas, apa yang harus dilakukan oleh PR, jika RS mengalami krisis serupa? Di hadapan 100 orang anggota Perhumasri, Anjari menekankan empat hal. Pertama, melakukan evaluasi. “Apakah RS sudah mempunyai aturan etika bisnis dan etika kerja karyawan?” katanya seraya bertanya. Aturan di sini termasuk aturan bijak dalam bermedia sosial. Seperangkat aturan seputar perilaku bermedia sosial ini wajib diikuti oleh seluruh civitas hospitalia.

Kedua, internalisasi. “PR harus menjelaskan kepada seluruh civitas hospitalia bahwa satu orang yang bermedia sosial akan berdampak pada reputasi institusional,” ujarnya, tegas. “Bukan berarti RS melarang untuk bermedia sosial, tapi gunakan secara bijak,” katanya. Ketiga, monitoring. Praktisi PR bertugas memantau sekaligus merespons jika ada konten yang berpotensi viral dan berkaitan dengan RS.

Keempat, institusi harus memberikan peringatan kepada civitas hospitalia yang melanggar kode etik. Ketika keempat hal ini sudah disepakati di kalangan internal, harapannya akan mengubah mindset bahwa niat bermedia sosial adalah untuk memberikan informasi dan mengedukasi akan berdampak pada reputasi RS. Sekaligus, berkontribusi meningkatkan loyalitas pelanggan dan kepuasan pasien. (ais)