Antara “Public Diplomacy” dan “Nation Branding”

PRINDONESIA.CO | Kamis, 16/06/2022 | 2.285

Topik nation branding sudah beberapa kali saya angkat di dalam berbagai edisi PR INDONESIA di awal tahun ini. Sebab, menurut saya, kita perlu menangani persoalan ini dengan serius. Anekdot yang sering dikemukakan tentang lebih dikenalnya Bali daripada Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman tentang Indonesia yang cukup mendasar dan tidak dapat dibiarkan.

Oleh: Noke Kiroyan, Chairman and Chief Consultant KIROYAN PARTNERS

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Tidak cukup kita tersenyum pahit sambil mengernyitkan dahi atas ketidaktahuan dunia internasional mengenai Indonesia. Perlu tindakan aktif untuk meluruskan pandangan tentang negara kita agar dapat memainkan peran lebih besar secara internasional sepadan dengan posisinya yang strategis, dan beberapa fakta penting yang tampaknya belum terkomunikasikan dengan baik.

Dunia perlu memahami bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar, negara demokratis terbesar keempat dan anggota kelompok ekonomi terbesar dunia yang dikenal dengan G20 yang tahun ini presidensinya dipegang oleh Indonesia. Banyak orang asing tercengang kalau dikatakan bahwa jarak dari ujung Barat ke ujung Timur setara dengan jarak Reykjavik di Eslandia ke Baku di Azerbaijan atau Anchorage di negara bagian Alaska, Amerika Serikat yang terletak di ujung utara benua Amerika ke Monterrey di Meksiko.

Saya juga sering menerima tamu yang baru pertama kalinya ke Jakarta dan terus terang menyatakan bahwa keadaan sebenarnya jauh dari bayangan yang ada di benaknya sebelum melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Jakarta adalah kota besar dan modern.

Salah satu negara tetangga dekat sekali pun, Australia, masih lebih banyak berbisnis dengan Malaysia dan Thailand yang struktur ekonominya tidak jauh berbeda dengan Indonesia akan tetapi lebih kecil dari kita. Padahal secara geografis Indonesia lebih dekat dengan Australia. Dapat diduga bahwa ada faktor ketidaktahuan tentang Indonesia yang menyebabkan ketimpangan ini yang mungkin dapat diatasi dengan pengetahuan yang lebih luas dan mendalam tentang potensi bisnis dan ekonomi yang perlu kita komunikasikan antara lain melalui nation branding atau public diplomacy.

 

Daya Pukul

Dalam kaitan ini saya ingin mengemukakan tentang beberapa istilah yang menggambarkan tentang daya pukul suatu negara dalam arti kiasan. Ada beberapa negara yang daya pukul atau pengaruhnya di dunia internasional jauh lebih besar daripada ukuran negaranya, seperti Selandia Baru, Singapura, dan Israel. Negara-negara ini dikatakan “punching above their weight”, atau secara harafiah berdaya pukul di atas berat badannya. Ibarat petinju kelas bantam yang pukulannya seperti petinju welter, maknanya adalah pengaruh negara yang bersangkutan jauh di atas ukuran negaranya. Ada juga istilah “punching below their weight” yang berarti kebalikannya. Dengan tidak dikenalnya Indonesia, maka negara kita diibaratkan negara besar tetapi tidak memiliki daya pukul.

 

Beberapa judul berita memberikan gambaran tentang kiasan yang saya sebutkan di atas. Kantor berita bisnis Bloomberg tanggal 9 April 2022 yang lalu memuat tulisan berjudul “Indonesia Has Been Punching Below Its Weight”. The Diplomat pada 21 April 2016 memuat tulisan berjudul “Indonesia’s Hesitancy on the Global Stage – The country has long punched below its weight when it comes to foreign affairs”. Tulisan-tulisan seperti ini memberikan gambaran suatu negara yang besar tetapi lembek dan oleh karenanya tidak berpengaruh dalam percaturan global. Tentunya, pandangan seperti ini tidak menguntungkan untuk kita.

 

Dalam sebuah wawancara pada 21 Agustus 2021 dengan think-tank Amerika yang namanya sama dengan lembaga serupa di Indonesia, Center for Strategic & International Studies, mantan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Marty Natalegawa  mengakui bahwa ia sering merasakan bahwa kita “punching below our weight”. Padahal seharusnya lebih banyak yang dapat kita lakukan (“Pivotal Player: Marty Natalegawa and U.S. – Indonesia Relations”).

 

Sebagai bidang studi yang relatif baru, literatur tentang nation branding belum banyak, dan yang ada sekalipun kebanyakan menyebutkan bahwa nation branding sangat terkait dengan public diplomacy atau Diplomasi Publik. Atau menganggapnya sebagai penamaan yang berbeda untuk suatu fenomena yang sama. Seorang ilmuwan dan praktisi Komunikasi Jerman Tim Stiehl membuat telaah kepustakaan yang dibukukan dengan judul Public Diplomacy gleich Nation Branding? (Apakah Diplomasi Publik sama dengan Nation Branding?).

 

Pertanyaan ini dijawabnya sendiri di dalam subjudul yang saya terjemahkan menjadi “Pendekatan teoretis berbeda antara dua konsep dalam mencitrakan negara keluar”. Intinya ia berpendapat bahwa antara kedua pengertian terdapat perbedaan yang cukup mendasar.

 

Kenali Bedanya

Selain menjelaskan perbedaan antara nation branding dengan public diplomacy, Tim Stiehl juga mengupas beberapa perbedaan antara diplomasi tradisional dengan diplomasi publik (public diplomacy). Diplomasi tradisional menempuh strategi “power play” atau memainkan kekuasaan dengan tujuan memaksakan pandangan di mana pemerintah berperan memberikan instruksi.

 

Strategi diplomasi publik menciptakan keuntungan bersama (“win-win”) dengan tujuan membentuk pandangan positif sehingga terbentuk preferensi, dan pemerintah dalam hal ini berperan memfasilitasi prosesnya. Di dalam nation branding, negara bak perusahaan swasta yang menciptakan merek (brand) dan bersaing dengan negara-negara (merek-merek) lain dalam merebut pangsa pasar. Jadi pendekatannya seperti branding dalam kegiatan marketing. Walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit, pendekatan dalam diplomasi publik dilandasi ilmu politik dan hubungan internasional.

Pendekatan mana yang dipilih, nation branding atau public diplomacy? Menurut hemat saya, kita dapat menjalankan kedua-duanya karena masing-masing memiliki keunggulannya sendiri. Yang penting perencanaannya dilakukan dengan seksama dan pelaksanaannya konsisten dalam jangka panjang. Penting juga diperhatikan bahwa dalam kaitan ini rumus pembentukan reputasi dari Doorley & Garcia tetap berlaku: Reputasi = Kinerja + Komunikasi + Perilaku. Ketiganya harus sama kuat karena ketimpangan salah satu unsur saja tidak akan menghasilkan reputasi yang optimal.