Pergeseran Stereotipe Perempuan dalam PR

PRINDONESIA.CO | Jumat, 26/05/2023 | 2.317
Ekspektasi terhadap peran dan fungsi PR makin meningkat, PR tak lagi identik dengan perempuan.
Tatan/PR INDONESIA

“Perempuan dianggap sebagai sosok yang ideal untuk menjadi seorang PR. Sebab, pekerjaan PR yang membutuhkan kemampuan berkomunikasi dan melakukan persuasi dinilai lebih cocok dilakukan oleh perempuan.” Probert dalam tulisannya berjudul Women’s Working Lives tahun 1997.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Meski perempuan kerap dianggap lebih tepat berprofesi sebagai public relations (PR), namun F.M. Venusiana R., Direktur Consumer Service PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, tak memungkiri dibutuhkan usaha dua kali lipat dari kondisi normal ketika perempuan memilih untuk bekerja secara profesional. Sebab, ia harus dapat fokus terhadap pekerjaannya, di samping tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu di keluarga. Oleh karena itu, perempuan membutuhkan role model sesama perempuan agar mereka termotivasi untuk bisa memberikan kontribusi yang sama dengan laki-laki.

Kini, seiring dengan semakin tingginya tuntutan zaman dan tantangan yang dihadapi oleh pelaku dunia usaha, persepsi PR itu identik dengan perempuan, sirna. Ekspektasi terhadap peran dan fungsi PR makin meningkat. Dalam konteks persyaratan PR profesional, Cutlip, Center dan Broom dalam dalam buku berjudul Effective Public Relations yang diterbitkan tahun 2000, mengemukakan ada empat faktor yang dapat menunjang keberhasilan profesi PR. Antara lain, keterampilan, pengetahuan, kemampuan, dan kualitas yang baik. Keempatnya berlaku untuk semua PR tanpa memandang gender. 

Karena ada perubahan kebutuhan itulah, lambat laun terjadi pergeseran. Peminat untuk menekuni ilmu komunikasi/PR di kalangan pria semakin banyak. Hal ini diakui oleh Rahayu Puspasari, Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan. Menurutnya, saat ini profesi PR kian terbuka untuk semua gender. 

Arif Mujahidin, Direktur Komunikasi Korporat Danone Indonesia sependapat. Ia mengatakan, profesi ini gender neutral. Laki-laki maupun perempuan, selama memiliki kompetensi dan kemampuan yang dibutuhkan oleh perusahaan, pantas berprofesi sebagai PR. Di Danone Indonesia, penilaian kinerja dilakukan secara objektif berdasarkan kemampuan menyelesaikan tugas, menyampaikan ide, dan prestasi, tanpa melihat jenis kelamin. 

Pada akhirnya jika semua pihak dapat mendudukkan profesi ini secara benar, layak, dan proporsional tanpa membedakan gender, maka pengguna jasa akan memberikan apresiasi terhadap profesi ini dan menempatkannya secara sepadan, tergantung kebutuhan organisasinya. Semakin tinggi profesionalitas seorang PR dalam menggeluti pekerjaannya, maka makin tinggi pula apresiasi masyarakat terhadap profesi ini. (rtn)