HOME » EVENT » AWARDS

Inilah Dosa yang Harus Dihindari PR

PRINDONESIA.CO | Senin, 25/09/2023 | 1.153
Plenary Session PR INDONESIA Summit, Kamis (21/9/2023)
Panji/PR INDONESIA

“Jangan sampai pekerjaan mulia sebagai public relations (PR) menjadi hina hanya karena melakukan hal yang berpotensi “dosa”,” kata Firsan Nova di acara PR INDONESIA Summit di Jakarta, Kamis (21/9/2023).

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Krisis bisa saja datang secara tidak terduga, tapi bisa diantisipasi. Caranya, kata CEO Nexus Risk Mitigation & Strategic Communication Firsan Nova, saat mengisi plenary session bertajuk Ethical Practices in PR pada rangkaian acara PR INDONESIA Summit di Jakarta, Kamis (21/9/2023), dengan memahami jenis-jenis krisis.

Menurutnya, ada tiga jenis krisis. Di antaranya, krisis strategis, finansial, dan komunikasi. Krisis strategis adalah krisis yang disebabkan oleh perubahan lingkungan bisnis. Krisis ini dapat terjadi jika perusahaan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, Firsan memberi contoh, saat perusahaan tidak mau berinovasi dan tenggelam di era digitalisasi.

Sementara krisis finansial adalah masalah cash flow jangka pendek maupun kebangkrutan jangka panjang. Sedangkan krisis komunikasi bisa berupa isu atau fakta. Menurut pria yang juga merupakan dosen LSPR Communication and Business Institute, isu atau fakta ini harus segera diselesaikan sebelum membawa dampak komunikasi yang lebih besar bagi perusahaan.

Minimnya pemahaman mengenai jenis-jenis krisis ini, Firsan tak menampik masih menemukan perusahaan yang menghalalkan segala cara untuk menghindari dampak krisis yang lebih besar. Salah satunya, meminta agensi komunikasi untuk melakukan praktik tidak etis seperti menghilangkan berita negatif di portal berita, media sosial, hingga mesin pencari.

Inilah yang menurut peraih gelar doktor Manajemen Bisnis dari Universitas Padjadjaran tersebut merupakan potensi dosa yang dilakukan oleh PR. Yakni, melakukan kebohongan. “Jangan sampai pekerjaan mulia sebagai PR menjadi hina hanya karena melakukan hal yang berpotensi “dosa”,” imbuhnya.

Adapun kebohongan yang dimaksud oleh Firsan tersebut meliputi empat hal. Terdiri dari melaporkan sesuatu yang tidak ada, tidak melaporkan sesuatu yang ada, membesarkan hal kecil, dan mengecilkan hal besar.

Ciri Perilaku Tidak Etis

Charles Redding dalam bukunya berjudul An Introduction to Organizational Communication yang diterbitkan tahun 1996, menguraikan ada enam kategori dari komunikasi tidak etis. Di antaranya, koersif, destruktif, deseptif, intrusif, sekretif, dan manipulatif.

Koersif adalah perilaku yang mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan. isalnya, intoleransi atau penolakan untuk mendengarkan pendapat orang lain. Sedangkan perilaku destuktif merupakan penyalahgunaan informasi agar orang lain merasa rendah diri. Hal ini meliputi perbuatan menghina, memberi julukan, hingga pembunuhan karakter.

Sementara deseptif adalah pesan yang tidak jujur dan menyesatkan. Misalnya, ambiguitas yang disengaja dan menyembunyikan atau menutupi fakta yang tidak menyenangkan. Perilaku komunikasi yang tidak etis berikutnya, yakni intrusif yang berarti komunikasi yang melanggar atau menyangkal hak pribadi orang lain.

Selanjutnya adalah sekretif. Yakni, komunikasi nonverbal yang bersifat sengaja tidak tanggap, memanipulasi pesan agar mengubah pembaca dalam menafsirkannya, dan mencegah untuk memberikan informasi.

Sedangkan perilaku manipulatif merujuk pada cara berkomunikasi tanpa mempedulikan kepentingan umum. Atau, sebaliknya, menghalangi penerima dari mengetahui maksud sebenarnya di balik pesan.

Nah, Firsan melanjutkan, agar agensi PR dapat tetap berpegang teguh menjalankan profesinya secara etis, ada baiknya apabila PR menemukan fakta (fact finding) terkait organisasi calon klien. “Trust is good, but check is better,” imbuh penulis buku Crisis Public Relations tersebut.

Pernyataan ini mengundang pertanyaan dari Fakhri, peserta dari PT Trakindo Utama. Khususnya, terkait hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam menangani krisis. Firsan menanggapi bahwa ada tiga pihak yang harus terlibat. Mereka adalah tim operasional yang memiiki keahlian di bidang teknologi, tim komunikasi yang terlibat membentuk opini publik, dan jajaran pimpinan. “Jika komunikasi kurang kuat, maka yang memiliki kekuatan adalah pelanggan atau pengguna,” ujarnya.

Pengguna saat ini dapat melakukan proses 3R, yakni review, rating, dan recommendation. “Nah, untuk itu, perusahaan juga perlu menggandeng internal terlebih dulu melakukan 3R untuk membangun opini publik,” pungkasnya. (rvh)