Waspada “Deepfake” Jelang Pemilu, Simak Langkah Antisipatif dari Kemenkominfo

PRINDONESIA.CO | Jumat, 29/09/2023
Usman Kansong saat membuka sesi panel Indonesia Communications Outlook Vol. 2 di Jakarta, Rabu (27/9/2023).
Rizka/ PR INDONESIA

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyoroti ancaman teknologi jelang Pemilu 2024. Bagaimana cara mengantisipasinya?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Fokus utama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menjelang pesta demokrasi adalah mewujudkan pemilu damai 2024. Nah, salah satu tantangan terberat yang dihadapi dalam upaya mewujudkan pemilu damai tersebut adalah keberadaan teknologi.

Pernyataan ini disampaikan oleh Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo Usman Kansong saat membuka sesi panel di acara Indonesia Communications Outlook Vol.2 bertema "Examining Risk and Opportunities from a Marketing and Communication Perspective” di Jakarta, Rabu (27/9/2023).

Menurut Usman, Pemilu 2024 tidak hanya melibatkan kandidat calon presiden dan wakil presiden, namun juga persaingan dalam bidang teknologi. “Teknologi menjadi sarana untuk meraih kemenangan dalam pemilu. Melalui kecerdasan buatan (AI) dan platform digital,” ujarnya di acara yang diselenggarakan oleh Kalandara Group tersebut.

Pria yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Pemberitaan Harian Media Indonesia itu, memberikan contoh pemilu yang berlangsung di Amerika Serikat pada tahun 2016. Ketika itu, Donald Trump sebagai salah satu kandidat presiden, memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan hoaks kepada lawan politiknya di media sosial. Kondisi serupa juga pernah terjadi di Indonesia saat Pemilu 2019. Saat itu, maraknya hoaks menyebabkan terjadinya polarisasi di tengah masyarakat. 

“Deepfake”

Selain soal hoaks, salah satu yang juga menjadi sorotan Kemenkomunfo adalah mewaspadai adanya deepfake. Deepfake merupakan teknologi yang memungkinkan seseorang menirukan suara orang lain menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Usman kembali memberi contoh saat pemilihan wali kota yang berlangsung di Chicago, Amerika Serikat. Ketika itu, salah satu kandidat menjadi korban. Suara palsunya tersebar di Twitter hingga akhirnya ia kalah suara. “Permasalahan muncul ketika suara diubah menjadi kata-kata yang memicu kontroversi di masyarakat,” imbuhnya.

Untuk menyikapi berbagai tantangan tersebut, kementerian yang berada di bawah Menteri Budi Arie Setiadi itu melakukan serangkaian langkah antisipasi. Antara lain, berkolaborasi dengan digital platform. "Saat ini kami telah bekerja sama dengan digital platform, salah satunya menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan TikTok untuk mewujudkan kampanye Pemilu Damai 2024,” kata Usman.

Di samping itu, Kemenkominfo juga telah membuat regulasi bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait adanya pembatasan peserta pemilu untuk memiliki maksimal 10 akun media sosial. Meski, ia tak memungkiri regulasi tersebut belum mengatur soal keberadaan buzzer. Menurutnya, hal ini dikarenakan Kemenkominfo sebagai pengelola komunikasi publik tidak memiliki kewenangan untuk mengatur buzzer.

Sebaliknya, kewenangan mereka hanya sebatas mengatur konten yang dihasilkan oleh buzzer tidak mengandung unsur kampanye hitam (black campaign) dan hoaks. Usman yakin dengan berbagai upaya antisipasi tersebut dapat meredam polarisasi di Pemilu 2024. (jar)