“Buzzer” Meningkat Jelang Pemilu, Pemerintah Diminta Tegas

PRINDONESIA.CO | Jumat, 17/11/2023 | 1.782
Kehadiran buzzer pada Pemilu 2024 dianggap membawa konteks negatif.
Foto Shutterstock

Buzzer menjadi elemen yang tidak terpisahkan tiap tahun politik. Demikian pula pada Pemilu 2024 kali ini. Pemerintah pun diminta menindak tegas.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Dalam pidatonya di hadapan peserta Seminar Nasional Literasi Media dan Politik Jelang Pemilu 2024 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Selasa (23/5/2023), seperti dilansir dari tribunnews.com, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, sampai tahun 2022, terdapat 800 ribu akun gelap di media sosial yang menjadi tempat “bermain” para buzzer atau pendengung.

Bahkan, kata pria yang kini menjadi calon wakil presiden itu, jumlah buzzer sudah menyaingi media-media mainstream. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring dimulainya kontestasi pemilu serentak yang akan diselenggarakan 14 Februari 2024 mendatang.

Untuk meminimalisasi pengaruh buzzer, pemerintah sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya. Salah satunya, menetapkan aturan bahwa peserta pemilu, baik calon presiden, wakil presiden, dan legislatif, hanya diperbolehkan memiliki maksimal 20 akun media sosial di setiap platform untuk keperluan kampanye. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No.15 tahun 2023 pada pasal 37 ayat (2). Di samping mewajibkan para kandidat mendaftarkan setiap akun media sosial mereka.

Provokatif

Lantas, seberapa penting peran buzzer? Isu ini pernah dibahas secara khusus dalam Majalah PR INDONESIA Edisi 101/Agustus 2023 berjudul “Navigasi Komunikasi di Tahun Politik”. Founder Konner Advisory Silih Agung Wasesa yang menjadi salah satu narasumber mengatakan, kehadiran buzzer tidak bisa diabaikan dalam Pemilu 2024.

Baginya, buzzer sudah menjadi bagian dari strategi politik. Antara lain, digunakan partai politik, pemenang pemilu, termasuk pemerintah. Namun, istilah buzzer yang semula memiliki konotasi positif sebagai alat komunikasi pemasaran telah berubah menjadi negatif akibat adanya sejumlah penyalahgunaan. Bahkan, buzzer kini dianggap sebagai alat "perang" untuk mendukung calon tertentu.

Ismail Fahmi, pendiri Media Kernels Indonesia dan Drone Emprit memiliki pandangan serupa. menurutnya, saat ini buzzer telah menjelma menjadi senjata untuk menjatuhkan lawan politik melalui praktik-praktik pencitraan dan narasi negatif. Dalam wawancara dengan PR INDONESIA via virtual, Kamis (3/8/2023), ia mengatakan, kondisi inilah yang kemudian telah membuat publik melupakan makna sebenarnya dari istilah buzzer itu sendiri.

Pernyataan kedua narasumber tersebut, sejalan dengan hasil survei Litbang Kompas 2022. Dilansir databoks.katadata.co.id, sebanyak 36,3% dari 1.004 responden dari 34 provinsi di Indonesia menyatakan pandangannya bahwa buzzer atau influencer yang provokatif dapat menjadi pemicu utama dalam memanasnya polarisasi politik di masyarakat.

Untuk mencegah perpecahan lebih lanjut, 87,8% dari responden sepakat pemerintah perlu mengambil langkah tegas kepada buzzer atau influencer yang melakukan aksi provokatif dan membuat keruh suasana politik dan sosial selama pemilu. (jar)