Menyoal Makna Simbolik Idul Adha di Era Komunikasi Digital

PRINDONESIA.CO | Rabu, 11/06/2025
Momen perayaan Idul Adha bagi umat Islam
doc/baznas

Menurut dosen Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara Suswinda Ningsih, perayaan Idul adha seharusnya menjadi momen untuk memperkuat empati, bukan mempertebal impresi.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO -  Setiap tahun, jutaan umat Islam menunaikan ibadah kurban, menyembelih hewan ternak sebagai bentuk ketaatan dan kepedulian sosial. Namun, dalam konteks digital kiwari, pesan sakral pengorbanan itu tak jarang tereduksi menjadi ajang pamer. 

Dosen Ilmu Komunikasi sekaligus Pemerhati Media dan Budaya Digital Universitas Dian Nusantara Suswinda Ningsih berpandangan, praktik keagamaan ini mengalami transformasi khususnya pada cara penyampaiannya.

“Media sosial telah menjadikan hampir semua ekspresi bersifat publik, termasuk amal dan ibadah. Mulai dari dokumentasi penyembelihan, laporan jumlah hewan kurban, hingga foto bersama daging kurban lazim diunggah ke platform digital,” tulisnya dalam artikel opini yang terbit di Sumbarsatu.com, Jumat (6/6/2025).

Perspektif Komunikasi

Suswinda melanjutkan, dalam pandangan Ilmu Komunikasi merujuk teori interaksionisme simbolik oleh George H. Mead, setiap tindakan manusia memiliki makna yang dibentuk melalui interaksi sosial. Dalam konteks ini, terangnya, kurban memiliki pesan simbolik mengenai keikhlasan, ketaatan, dan kepedulian sosial.

Dalam konteks kekinian, Suswinda mengungkapkan, praktik Idul Adha juga menekankan pada panggung digital yang menampilkan identitas, status sosial, bahkan pencitraan politik. Akibatnya, pengorbanan dapat bergeser dari makna spiritual menjadi strategi komunikasi diri yang tergambarkan pada teori dramaturgi Erving Goffman terkait manusia bertindak layaknya aktor di panggung teater.

Maka dari itu, Suswinda mengingatkan pentingnya prinsip komunikasi etis sebagaimana dikemukakan Jurgen Habermas, bahwa komunikasi perlu dibangun atas dasar kejujuran, saling pengertian, dan bebas dari tekanan atau dominasi simbolik.

“Idul adha seharusnya menjadi momen untuk memperkuat empati, bukan mempertebal impresi. Sebab dalam kisah Nabi Ibrahim, tidak ada gimik atau kebutuhan untuk dinilai publik. Hanya ada dialog sunyi kasih sayang manusia dan Tuhannya melalui ujian pengorbanan,” tutupnya. (eda)