Kekuasaan Tidak Pernah Abadi

PRINDONESIA.CO | Rabu, 06/12/2023 | 8.432
Kekuasaan bagaikan labirin, makin dikejar, makin melenakan, dan melupakan esensi awal saat memperolehnya.
Foto Freepik

kekuasaan sebagai sesuatu yang melenakan dan memabukan kalau terlalu lama digenggam. Ada baiknya menyadari bahwa kekuasaan tidak pernah ada yang abadi. Karena yang abadi adalah perubahan.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Kekuasaan itu enak. Melenakan. Membuat orang yang tadinya enggan berkuasa, maka ia pun bisa terjerat syahwat menguasai selama mungkin, manakala sudah memegang tampuk kekuasaan. Itu jika pertahanan moral dan etikanya tidak kuat. Alias rapuh. Kekuasaan bagaikan labirin yang tak berujung. Makin dikejar, makin melenakan. Melupakan esensi awal kala kekuasaan diperoleh, yang membutuhkan keringat dan biaya, serta tenaga dari begitu banyak pihak yang mendukungnya.

Biasanya, ketika belum berkuasa, seorang penguasa mudah mendengar. Mau menerima nasihat-nasihat dari segala penjuru untuk menuju kekuasaannya. Namun, manakala sudah terlanjur berkuasa, bahkan dalam hitungan waktu yang cukup lama, nasihat dari banyak orang, bisa publik atau kaum cerdik cendekiawan, mulai kurang diperhatikan. Untuk tidak mengatakan sebagai diabaikan. Penguasa model seperti ini hanya mau mendengar dari dirinya sendiri, atau lingkaran pertama orang-orang di sekitarnya yang ia percaya.

Mengapa bisa demikian? Setidaknya untuk dua alasan berikut. Pertama, semakin lama orang berkuasa, ada kecenderungan ia menginginkan masa kekuasaannya kian panjang. Segala upaya untuk mempertahankan kekuasaan akan dicoba. Baik yang sifatnya legal maupun dilegalkan. Kedua, penguasa yang sudah cukup lama atau terlalu lama berkuasa, akan mencoba melebarkan area kekuasaannya. Awalnya, mungkin hanya satu wilayah, misal politik. Selanjutnya, melebar ke aspek lain, bisnis, hukum, dan seterusnya. Padahal, menumpuk kekuasaan, baik secara waktu dengan melanggengkannya selama mungkin maupun memperbesar cakupan, hanya akan berujung pada potensi korup.

Pantaslah Sir Lord Acton sedari awal mengingatkan: “Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan yang mutlak akan cenderung korup secara absolut.” Benarlah tengaranya. Menjauhkan agar kekuasaan tidak korup, tentunya adalah dengan membatasinya. Di mana-mana, kekuasaan tidak boleh jadi candu yang terus-menerus dihisap.

Bagaimana jika batasan kekuasaan diabaikan? Tentu akan berujung pada korup tadi. Membatasi kekuasaan sejatinya sangat bagus bagi upaya memberi jalan agar sirkulasi penguasa bisa berganti secara alamiah. Melempangkan jalan bagi generasi penerus untuk menggantikan sang penguasa, melalui jalan yang semestinya. Bukan dengan mengakali prosedur yang seharusnya ditempuh secara berjenjang.

Perubahan

Membatasi kekuasaan juga berarti menempatkan moral di atas syahwat kekuasaan yang tidak bertepi. Moralitas yang unggul dalam konteks kepentingan publik, adalah pegangan bagi setiap penguasa. Menciderai hal demikian, akan mendorong publik bersuara mengoreksinya. Kendati selama ini, mungkin, publik cenderung “tidak bersuara”, namun sejatinya memiliki sikap.

Pada akhirnya, keinginan melanggengkan kekuasaan, semestinya tidak dipertontonkan pada wilayah publik. Soal lain jika hal tersebut dilimitasi pada urusan personal, dalam bidang bisnis keluarga, atau bisnis pribadi yang dimiliki. Sah saja, seorang pemilik perusahaan swasta mempertahankan posisinya sebagai CEO selama mungkin, sepanjang fisik dan psikisnya masih memungkinkan. Karena kepemilikan dia terhadap bisnis pribadinya, bukan diperoleh dari pelibatan publik. Melainkan rintisan pribadi atau keluarga yang membesar.

Kekuasaan, sekali lagi, bisa memabukkan kalau terlalu lama digenggam. Sebelum semua serba terlanjur terlalu jauh, ada baiknya menyadari bahwa tidak pernah ada yang abadi, termasuk kekuasaan itu sendiri. Yang “abadi” dan niscaya adalah perubahan. Pergantian kekuasaan secara reguler, mengikuti kaidah-kaidah sunatullah dan hukum alam. Tabik! (Asmono Wikan)