Belajar dari Demo Sepekan Terakhir, Apa yang Bisa Dilakukan GPR?

PRINDONESIA.CO | Selasa, 02/09/2025
Presiden Prabowo dalam silahturahmi dengan beberapa tokoh lintas agama, partai politik, dan lainnya di Istana Negara, Jakarta, Senin (1/9/2025).
doc/setneg.go.id

Di balik hiruk-pikuk demonstrasi, muncul pertanyaan: mampukah government public relations (GPR) menjaga kepercayaan publik? Jawabannya terletak pada komunikasi hati, dan pendekatan yang mengedepankan empati di tengah krisis.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Krisis yang bersifat nasional seperti aksi demonstrasi sepekan terakhir di sejumlah daerah di Indonesia telah menimbulkan tanda tanya tersendiri, tentang bagaimana government public relations (GPR) dapat berperan meredam “kerusakan” citra dan reputasi pemerintah. 

Menjawabnya, founder & Principal Consultant NAGARU Communication Dian Agustine Nuriman mengatakan, dalam konteks ini hal tersebut berkaitan dengan pemanfaatan media channel dalam mengomunikasikan krisis. “Masyarakat semua fokus kepada media sosial. Mereka menilai dan melihat apakah para figur publik, pemerintah, dan anggota dewan sensitif atau tidak dengan situasi terkini,” ucapnya kepada PR INDONESIA, Selasa (2/9/2025).

Kendati demikian, Dian dalam pandangannya melihat bahwa aktivasi komunikasi pemerintah di media sosial terkait situasi bangsa sepekan terakhir belum seirama. Di sini, katanya, chain of command dan protokol krisis memainkan peran vital, agar setiap praktisi GPR di masing-masing instansi mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh diunggah.

Alternatif lain yang dapat dipilih untuk memastikan keselarasan komunikasi, lanjut Dian, adalah dengan menerapkan alur informasi satu pintu. Misalnya, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Atau, katanya, GPR di masing-masing instansi dapat mengarahkan narasi masing-masing sesuai dengan pernyataan dan sikap pemimpin tertinggi negara. “Ini bisa jadi kiblat sementara kalau tidak ada protokol krisis yang bisa dijadikan acuan,” jelasnya.

Lebih lanjut, menurut Dian, dalam situasi seperti sepekan terakhir, tim manajemen krisis dan tim komunikasi krisis juga memainkan peran kunci, agar komunikasi publik yang dijalankan sesuai, dapat meredam kemarahan publik, dan masyarakat tidak salah dalam menafsirkan informasi.

Komunikasi Hati

Dalam praktik komunikasinya, terang Dian, praktisi GPR perlu untuk bisa merajut narasi dengan pendekatan komunikasi hati seperti yang dicetuskan oleh Guru Besar Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta Prof. Puji Lestari. “Teori ini dapat meningkatkan kualitas komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, dan terutama komunikasi publik,” ucapnya.

Adapun teori tersebut berfokus pada olah pikir atau mengarahkan pikiran kepada hal-hal positif untuk membentuk sikap konstruktif, dan olah rasa atau mengelola perasaan untuk memunculkan simpati dan empati. Tujuannya adalah mencapai komunikasi efektif dan harmonis, dengan menekan risiko sosial.

Basis teori tersebut, lanjut Dian, adalah teori non-violent communication (NVC) yang digagas Rosenberg pada 2015 dengan fokus pada bentuk komunikasi tanpa kekerasan. Sehingga, dengan mengimplementasikan teori di atas, GPR bisa merajut narasi dengan komunikasi yang berpijak pada empati sebagai fundamental utama. “Jadi tidak berdiri di satu sisi hanya sebagai pemerintah, tetapi juga merasakan posisi masyarakat yang saat ini penuh rasa kebingungan, ketakutan, dan kegelisahan,” tutupnya. (lth)