Menyoal Seskab yang Dianggap Pilar Komunikasi Pemerintahan Presiden Prabowo

PRINDONESIA.CO | Selasa, 21/10/2025
sosok Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya bersama Presiden Prabowo Subianto
doc/Bay Ismoyo/AFP

Ketua DPP Arus Bawah Prabowo Supriyanto bahkan menyebut Teddy adalah pilar komunikasi publik sekaligus jembatan antara Presiden Prabowo dan masyarakat.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO –  Setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, sosok Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya disebut sebagai figur penting dalam komunikasi pemerintahan. Ketua DPP Arus Bawah Prabowo Supriyanto bahkan menyebut Teddy adalah pilar komunikasi publik sekaligus jembatan antara Presiden Prabowo dan masyarakat.

Di bawah koordinasi Teddy, kata Supriyanto, arus komunikasi publik istana berjalan semakin terarah. Selain itu, sinergi antarkementerian dan lembaga juga dinilai membaik. “Teddy menjaga agar visi besar presiden tersampaikan dengan bahasa yang jelas dan penuh semangat kebangsaan,” ujarnya dilansir dari ANTARA News, Minggu (19/10/2025)..

Selaras, analis komunikasi politik Hendri Satrio mengatakan, posisi Seskab memang strategis sebagai penyaring utama aktivitas presiden. Dengan adanya Teddy yang melekat dengan Presiden Prabowo, katanya, itu dapat membantu fokus sang pengambil keputusan. “Ini membantu Presiden tetap fokus dan prima dalam mengambil keputusan,” ujarnya dilansir dari SUARA.com, Minggu (19/10/2025).

Jebakan “Kepercayaan Semu”

Komunikasi istana yang kini dijalankan di bawah koordinasi Teddy memang menunjukkan disiplin, kecepatan, dan konsistensi. Namun, agar kredibilitas dan kepercayaan publik dapat tumbuh berkelanjutan, pendekatan ini perlu diimbangi dengan transparansi, partisipasi publik, dan komunikasi dua arah.

Sebagaimana pernah disampaikan dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga Suko Widodo dalam Konferensi Anugerah HUMAS INDONESIA (AHI) 2025 di Surabaya, Selasa (23/9/2025), kepercayaan publik tidak bisa dipoles. Ia hanya bisa ditumbuhkan melalui keterbukaan, empati, dan kesediaan pemerintah menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek.

Selain itu, dalam konteks kehumasan, Suko menyarankan pemerintah untuk berorientasi pada publik bukan pejabat. “Humas yang melayani publik lebih dipercaya ketimbang humas yang sibuk menjaga wajah penguasa. Humas publik harus berani berubah. Dari sekadar manajer citra menjadi penjaga kredibilitas,” pesannya.

Kekhawatiran ini sejalan dengan temuan dalam penelitian berjudul Government Communications and the Crisis of Trust: From Political Spin to Post-truth (2021) karya Andrew Holden, David O. Williams dan Mark Shephard. Disebutkan bahwa etika kelas politik terlalu terpikat pada seni spin media seperti upaya menerjemahkan kebijakan ke dalam narasi digital yang positif, sehingga komunikasi bergeser dari penyampaian kebenaran menjadi pengelolaan persepsi.

Jika itu terjadi, tulis  Andrew dkk, pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi fatal yaitu publik semakin sulit membedakan fakta (truth) dari klaim politik (post-truth), yang berujung pada erosi besar-besaran kepercayaan. (EDA)