Kolaborasi Jadi Kunci Penguatan Komunikasi Publik di Era Digital

PRINDONESIA.CO | Rabu, 29/10/2025
Ilustrasi Kolaborasi Komunikasi Publik
doc/freepik

Menurut Pranata Humas Ahli Madya Biro Humas Kementerian Komdigi Helmi Fajar Andrianto upaya kolaborasi antar kementerian dan lembaga (K/L) diharapkan dapat saling mengisi kekurangan, memperkuat pesan dan menjangkau audiens yang lebih luas.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO –  Media sosial kini menjadi panggung utama dalam penyebaran informasi, menggeser dominasi media massa konvensional yang lebih dulu berperan. Hal tersebut didukung oleh jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia, yang berdasarkan laporan terbaru DataReportal berjumlah 143 juta atau setara 50,2 persen dari total penduduk Indonesia.

Pergeseran tersebut turut mengubah pola komunikasi instansi pemerintah, yang menggunakan media sosial bukan sebatas kanal penyampaian informasi, sebagaimana disampaikan Pranata Humas Ahli Madya Biro Humas Kementerian Komdigi sekaligus Kepala Bidang Advokasi Ikatan Pranata Humas Indonesia (Iprahumas) Helmi Fajar Andrianto. “Baik Kementerian maupun lembaga negara kini aktif di berbagai platform media sosial yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga berinteraksi dengan warganet dan menyediakan layanan publik secara digital,” ujarnya dalam artikelnya di ANTARA News, Senin (27/10/2025).

Namun, dibalik semangat digitalisasi itu, Helmi mengingatkan adanya tantangan baru. Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), terjadi penurunan tajam jangkauan pesan di media sosial sejak tahun 2021. Misalnya, terangnya, akun Instagram Komdigi pernah mencatat impression lebih dari 200 juta pengguna pada 2021, tetapi kemudian anjlok menjadi di bawah 50 juta pada 2024 dan berlanjut di tahun 2025. “Metrik ini menjadi alarm penting bahwa ada yang perlu dibenahi dalam strategi komunikasi publik pemerintah,” ujarnya.

Guna menjawab tantangan tersebut, Helmi menawarkan kolaborasi antar organisasi sebagai solusi strategis. Ia mengutip konsep Collaborative Governance besutan Chris Ansell dan Alison Gash, yang menjelaskan kolaborasi sebagai proses tata kelola formal dengan tujuan melaksanakan kebijakan bersama. Dalam konteks komunikasi publik, hal ini berarti setiap unit organisasi bekerja bersama secara terorkestrasi untuk menyampaikan pesan yang telah disepakati. 

Tahapan “Collaborative Governance”

Kolaborasi, menurut peraih gelar Magister dari HAN University of Applied Sciences itu, bukan hanya soal berbagi tugas, tetapi menyatukan visi dan strategi komunikasi. Adapun birokrasi di Indonesia, katanya, masih sangat dipengaruhi model Max Weber yang hierarkis dan sektoral. Oleh Karena itu, tegas Helmi, membangun komitmen pimpinan lembaga menjadi langkah awal yang krusial.

Menurutnya, salah satu cara yang bisa ditempuh dalam hal itu adalah dengan memasukkan indikator komunikasi publik dalam perjanjian kinerja pimpinan lembaga. Indikator ini akan menjadi tolok ukur seberapa aktif lembaga berkontribusi dalam penyebaran konten bersama.

Setelah komitmen terbentuk, lanjutnya, tahap berikutnya adalah operasional melalui menyusun agenda bersama, memperkuat pesan, dan melakukan evaluasi berkala. “Upaya kolaborasi ini akan saling mengisi kekurangan, memperkuat pesan, memperluas jangkauan pesan sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap program dan kebijakan pemerintah yang dijalankan,” jelasnya.

Upaya helmi, selaras dengan pandangan Ketua Iprahumas Fachrudin Ali Ahmad yang menegaskan pentingnya sinergi lintas instansi dan kolaborasi sebagai kunci diseminasi pesan dan program yang optimal. Disampaikannya dalam konferensi Anugerah HUMAS INDONESIA (AHI) 2025 di Hotel Platinum, Surabaya, Selasa (23/9/2025), ketika kolaborasi dan budaya keterbukaan informasi publik telah menjadi kebutuhan, maka pesan akan lebih mudah tersampaikan dan membentuk kepercayaan. (EDA)