Belajar dari Kasus Bea Cukai, PR Memerlukan Sistem Manajemen Krisis 4R

PRINDONESIA.CO | Rabu, 15/05/2024 | 2.673
Praktisi public relations (PR) perlu memahami manajemen krisis 4R sebelum krisis benar-benar terjadi.
Foto Bea Cukai

Krisis memang datang tanpa kenal waktu. Namun, menurut CEO H+K Strategies Indonesia Marianne Admardatine, PR dapat mengendalikannya jika memiliki sistem manajemen krisis 4R. Apa itu?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Sederet kasus yang belakangan berkembang menjadi krisis bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), merupakan pembelajaran tersendiri bagi praktisi public relations (PR). Praktisi PR diingatkan betapa pentingnya mengelola isu yang beredar di masyarakat, agar tidak berkembang menjadi krisis yang dapat menghancurkan reputasi.

Dalam konteks tersebut, CEO H+K Strategies Indonesia Marianne Admardatine dalam buku berjudul 12 Isu Komunikasi Terkini (2021) menuliskan, praktisi PR setidaknya harus memiliki sistem manajemen krisis yang mencakup panduan komunikasi krisis hingga mitigasi krisis.

Marianne menilai penting hal tersebut karena berdasarkan riset, 80 persen krisis disebabkan oleh opini publik, dan 69 persen berasal dari hal kecil yang tidak ditindaklanjuti. Dalam hal ini, praktisi PR harus jeli mengamati dan aktif mendeteksi gejala krisis sedini mungkin. Sebab, bisa jadi alarm krisis sudah berbunyi, tetapi tidak disadari.

Oleh karena itu, Marianne menyarankan agar setiap unit PR dibekali sistem manajemen krisis 4R. Apa itu? Berikut uraiannya.

1.    Readiness (Kesiapan)

Aspek ini berarti kesiapan organisasi untuk menghadapi krisis. Langkah pertamanya adalah membentuk tim khusus manajemen krisis yang terdiri dari penasihat krisis dan pakar media sosial. Adapun tim penasihat krisis disarankan mencakup spesialis hubungan media, penghubung operasi, juru bicara, tim hukum, dan spesialis PR. Sementara untuk tim pakar media sosial, harus terdiri dari strategis sosial, manajer media sosial/komunitas, analis sosial, spesialis pencarian, dan produser konten.

2.    Radar (Deteksi)

Poin ini melibatkan pembuatan standard operating procedure (SOP) dan manajemen respons krisis. Di sini, PR harus melakukan monitoring melalui pemantauan media sosial, video, foto, forum, serta hal-hal yang berhubungan dengan perusahaan maupun tren terkait brand. Selain itu, perlu juga melakukan evaluasi pesan guna menentukan skala prioritas berdasarkan relevansi, nada, volume, kecepatan peredaran pesan, hingga pengaruh pihak yang menyampaikan pesan. Urgensi pesan dapat ditentukan melalui sejumlah faktor tersebut. 

3.    Response (Respons)

Skenario respons harus disusun jauh sebelum krisis terjadi, berdasarkan tingkat urgensi pesan yang dimulai dari kode hijau, yakni pesan dengan ancaman rendah karena diunggah oleh pihak yang tidak terlalu berpengaruh. Namun, jika ancaman disertai data, segera berikan respons di media sosial maupun situs resmi perusahaan.

Selanjutnya kode kuning, mencakup pesan yang cukup mengancam dan disampaikan oleh pihak berpengaruh. Dalam kondisi ini, lakukan monitoring dan pelaporan dua kali sehari, buat pernyataan klarifikasi resmi, dan persiapkan respons bagi karyawan, stakeholders, maupun rekanan.

Kemudian kode merah, akan menandakan isu yang sangat mengecam dan disampaikan oleh individu atau organisasi berpengaruh. Pada situasi ini, pastikan seluruh pihak bersinergi, mulai dari call center, juru bicara, hingga bagian operasional, sembari mengembangkan taktik respons cepat di berbagai platform.

4.    Recovery (Pemulihan)

Untuk aspek ini PR perlu melakukan analisis pembangunan reputasi, audit strategi dan taktik media sosial, serta pembuatan rencana pertumbuhan dan perlindungan reputasi. Sangat disarankan bagi PR untuk membangun strategi konten dan narasi yang efektif, untuk kemudian digencarkan guna memulihkan dan menguatkan reputasi perusahaan.

Dengan menerapkan sistem manajemen krisis 4R di atas, organisasi diyakini dapat menghadapi krisis dengan lebih baik dalam rangka melindungi reputasi. (jar)