BPIP Minta Tambahan Anggaran Rp45 Miliar untuk “Influencer”, Efektifkah?

PRINDONESIA.CO | Kamis, 13/06/2024 | 1.321
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) meminta tambahan anggaran untuk influencer sebesar Rp 45 miliar.
Foto BPIP

Penggunaan influencer dalam aktivitas public relations (PR) telah menjadi bagian tak terpisahkan. Namun, seberapa efektifkah penggunaannya?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) belum lama ini mengusulkan penambahan anggaran sebesar Rp100 miliar untuk tahun 2025. Dari jumlah tersebut, katanya, sebanyak Rp45 miliar akan dialokasikan secara khusus untuk sosialisasi Pancasila melalui influencer dan kreator konten. 

Usulan tersebut bisa jadi memancing sinisme dari publik. Sebab, sejauh ini penggunaan influencer dalam strategi sosialisasi pemerintah kerap menusi pro dan kontra. Salah satu alasannya, anggaran yang dikucurkan untuk aktivitas tersebut terbilang fantastis. Seperti dikutip dari bbc.com, Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa sepanjang 2014-2019, pemerintah pusat telah mengalokasikan Rp90,45 miliar untuk influencer dalam sosialisasi kebijakan.

Efektivitas Influencer

Pertanyaan yang mengemuka dari alokasi anggaran yang cukup besar itu adalah soal efektivitas penggunaan influencer dalam konteks sosialisasi kebijakan. Jika merujuk Belanche Belanche dalam buku Understanding Influencer Marketing: The role of congruence between influencers, products and consumers (2021), influencer sebagai sosok yang pendapatnya didengarkan dan mampu membuat orang lain bereaksi, jelas menjanjikan efektivitas penyampaian pesan.

Selain itu seperti dikutip dari prowly.com, sekurangnya terdapat empat manfaat penggunaan influencer dalam strategi PR. Pertama, organisasi akan mendapatkan jangkauan yang lebih luas dan terarah. Kedua, meningkatkan keterlibatan (engagement). Ketiga, influencer mampu membuat konten yang menarik, misal, untuk tujuan meningkatkan kesadaran merek. 

Terakhir dan tak kalah penting, influencer mampu menghadirkan cerita melalui konten mereka guna menyatukan pesan organisasi ke dalam narasi tanpa terkesan memaksakan. Ini dapat menjadi strategi jangka panjang yang berdampak bagi organisasi. (jar)