YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO – Survei yang dilansir Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2016 menunjukkan, 80 persen masyarakat pengguna internet menggunakannya untuk bermedia sosial. Ironisnya, tingginya angka pengguna media sosial dan pesatnya teknologi digital di Indonesia, ternyata dibarengi dengan makin masifnya peredaran berita palsu atau hoax.
Untuk memperkuat peran public relations (PR) dalam membendung maraknya hoax, sesi pleno pertama dalam Jambore Public Relations Indonesia (JAMPIRO) #3, Rabu (23/8/2017), mengulas tema “The Power of Public Relations in the Fake News and Hoax Era”. Acara menghadirkan pembicara Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kominfo Rosarita Niken Widiastuti, Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO Arif Zulkifli, dan Pengurus Asosiasi Perusahaan PR Indonesia (APPRI) Suharjo Nugroho.
Di depan praktisi PR dari berbagai institusi, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengatakan, Indonesia sebagai negara demokrasi yang memberikan ruang bagi masyarakatnya untuk mengeluarkan pendapat menggunakan media sosial. “Dunia kebebasan yang kita alami sekarang itu membangun kebebasan berfikir dan kebebasan berbicara,” ujar pria yang akrab disapa Aher ini. Menurutnya, perkembangan internet bisa menghasilkan jurnalisme warga yang dapat diproduksi siapa saja. “Era saat ini yang jadi pemred (pemimpin redaksi) adalah individu masing masing. Dengan kata lain, tidak ada yang mensortir dalam penggunaan media sosial,” tambahnya.
Namun, masyarakat pengguna media sosial tidak banyak yang memahami kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sehingga rentan memproduksi bahkan menyebarkan berita palsu. Pria lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menyatakan kegelisahannya atas keadaan yang ditandai dengan perilaku pengguna media sosial yang mudah sekali melakukan bullying (perundungan). “Bentuknya bisa berupa berita bohong, fitnah, bahkan pengguaaan bahasa-bahasa yang sarkastis,” jelasnya.
Selain itu, masyarakat memiliki karakter amat cepat merespons dan menjadi mudah marah. Dampak lanjut dari karakter tersebut bisa memecahbelah dan membuat kebencian antarkelompok di masyarakat. Oleh karena itu, Ahmad menekankan pentingnya menjalankan jurnalisme tabayun dalam menggunakan media sosial. “Jadi saat kita baru mengetahui sebagian informasi, kita bisa tabayun, yaitu dengan cara kita mengabaikan atau nggak mau tahu. Atau sekalian didalami (informasi atau beritanya),” ujar pria yang pernah menjadi dosen Universitas Ibnu Khaldun ini.
Dalam jurnalisme tabayun, hal yang perlu diperhatikan, pertama adalah narasumber yang menyampaikan berita. Sebagai pembawa berita, perlu dikroscek kebenaran dari fakta-fakta berita tersebut. “Kita tidak perlu tergesa-gesa untuk merespons. Kalau istilah saya, cover all sides. Tidak hanya cover both sides atau dua sisi, tapi semua sisi,” kata pria kelahiran Sukabumi ini.
Secara pribadi dalam menanggapi hoax, Aher menekankan prinsip katakan benar kalau tidak bisa diam, sebab tren yang ada di pengguna media sosial melalui sekali klik share, pengguna juga ikut menyebarkan hoax. “Kalau dalam bahasa Sunda ada namanya dihaok atau ditahan. Jadi hoax harus dihaok atau ditahan,” tuturnya sontak membuat peserta tertawa.
Aher juga mencontohkan salah satu prinsip jurnalis, yaitu jujur. “Katakan benar walaupun pahit,” ujarnya. Lebih lanjut, ia mengaitkan dengan sifat-sifat rasul dalam agama Islam dalam menghadapi hoax. “Pertama, fathanah artinya cerdas, baik dan membela kebenaran. Lalu shiddiq yaitu berlaku jujur. Terpercaya atau amanah dan kemudian tabligh artinya apa adanya,” tambahnya.
Aher menyadari, PR memang perlu melakukan pencitraan personal. Namun, tidak dapat dimungkiri tentu ada kelemahan. Sekalipun ketika menjelaskan produk-produk yang ditawarkan oleh perusahaan. “Katakan kalau ada A minus ya katakan A minus. Salah juga kalau tidak diungkapkan yang sejujurnya,” Ahmad menyarankan. Sebab, saat ini masyarakat menjadi lebih kritis dengan era kebebasan berpendapat di media sosial ini. “Salah jika apa yang kita tahu tidak dikemukakan, salah juga apa yang kita tahu kita lebih-lebihkan,” jelasnya.
Sebagai penutup, Aher mengajak para peserta yang hadir untuk membangun jurnalisme tabayun sebagai upaya PR melawan hoax. Pada saat yang sama juga harus diiringi dengan kerjasama dengan pers sebagai salah satu pengontrol sosial, demi membangun kesejahteraan masyarakat. (Dia/Nif)
- BERITA TERKAIT
- ICON PR INDONESIA 2023- 2024: Menjadi Motor Penggerak
- Pemenang PR INDONESIA Terpopuler: Makin Adaptif dengan Perkembangan Zaman
- Pemenang Insan PR INDONESIA 2023: Bukti Pengakuan
- Dua Tips Meramu Identitas "Brand" yang Kuat
- Mengomunikasikan ESG ke Dalam “Brand Storytelling”