Memasuki hari kedua Jambore Public Relations Indonesia (JAMPIRO) #3, Kamis (24/8/2017), President PR Society of Indonesia Magdalena Wenas mengajak para peserta untuk berstrategi menghadapi hoax sesuai tema pagi itu "How to Handle Hoax and Fake News to Protect Corporate Reputation".
YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO – Di hadapan sekitar 50 peserta, Magdalena mengatakan, salah satu strategi yang dilakukan untuk menghadapi hoax atau fake news adalah dengan menerapkan open system communication. Sistem komunikasi terbuka ini penting bagi perusahaan. Tak hanya bersikap terbuka baik terhadap publik internal maupun eksternal.
Namun, menurut Magda—begitu ia akrab disapa—yang malang melintang di dunia public relations (PR), tak jarang hoax justru bersumber dari dalam. Untuk itu, penting bagi PR meningkatkan dan memperkuat komunikasi internal yang lebih terbuka di internal perusahaan agar arus komunikasi berjalan searah. Bangun corporate communication (corcomm) yang berkarakter, yang membuat semua karyawan mempunya pikiran, konsep, dan pemahaman yang sama, atau tidak terlalu luas perbadaannya. Bahkan langkah itu sudah harus dimulai semenjak melakukan rekrutmen pegawai baru.
Magda lantas menyusun strategi untuk menghadapi hoax. Dimulai dari advocate top management, internal communication, engagement external communication, hingga reactive action process communication. “Kita harus mengedukasi top management untuk bersikap lebih obyektif. Upaya-upaya ini harus kita lakukan agar jangan sampai hoax terpenetrasi ke dalam,” ujarnya.
Ketika hoax tak lagi bisa dihindari, Magda mengimbau agar praktisi PR mengingat rumus ini: communication effectively, learn avtively, think critically and cratively, accept accountability. “Hoax itu sebentar hilang, kok. Pahami konsepnya, agar kita tidak terjerumus,” katanya. Maka, ia berpesan, jangan terprovokasi oleh judul yang provokatif, lihat catatan media yang terdaftar di Dewan Pers, cermati alamat situsnya, periksa fakta, cek keaslian foto, kalau tidak sesuai dan mengarah ke fitnah segera melapor ke Dewan Pers, aktif dalam grup diskusi antihoax.
Nah, kalau hoax atau fake news tentang instansi Anda sudah benar-benar membuat pusing, lakukan image restoration theory. Magda membedah enam taktik berikut ini. Antara lain bolstering, minimization, differentiation, transcendence, attacking accuser, dan compensation.
Bolstering adalah mengutip dan menyajikan data-data mengenai tindakan-tindakan positif sebanyak mungkin yang sudah dilakukan instansi/organisasi di masa lalu. Minimization, lakukan upaya-upaya yang bisa mengurangi perasaan negatif dengan cara persuasif kepada publik, sekaligus meyakinkan publik bahwa yang terjadi tidaklah seburuk seperti yang dipikirkan, dipersepsikan, atau bahkan yang terjadi. “Kita ajak publik jadi teman di corcomm kita. Ada atau tidak ada krisis, langkah ini harus rutin dilakukan,” katanya.
Sementara diferensiasi maksudnya membandingkan perbedaan perlakuan atas kesalahan yang dilakukan dengan yang dilakukan orang lain yang juga melakukan hal serupa. Trancendence, membandingkan suatu kejadian tetapi dalam konteks yang berbeda. Attacking accuser, menyerang kredibilitas yang menuduh dengan mempertanyakan kompetensi, latar belakang, track record, dan hal lainnya agar perhatian publik berpindah ke si penuduh. Terakhir, compensation, memberikan ganti rugi sebagai bentuk tanggung jawab atau menebus kesalahan yang terjadi.
Sebagai penutup, Magda mengutip pernyataan Komaruddin Hidayat, cendekiawan Muslim yang juga mantan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. “Tidak semua yang ditulis dan diberitakan itu benar. Dan, tidak setiap yang benar harus ditulis dan diberitakan,” katanya seraya melanjutkan, “Tidak semua yang dikatakan dan diberitakan itu benar. Dan tidak semua kebenaran harus dikatakan dan diberitakan,” tutupnya. (muk/rtn)
- BERITA TERKAIT
- ICON PR INDONESIA 2023- 2024: Menjadi Motor Penggerak
- Pemenang PR INDONESIA Terpopuler: Makin Adaptif dengan Perkembangan Zaman
- Pemenang Insan PR INDONESIA 2023: Bukti Pengakuan
- Dua Tips Meramu Identitas "Brand" yang Kuat
- Mengomunikasikan ESG ke Dalam “Brand Storytelling”