Awalnya sulit bagi Siko menerima takdir sebagai public relations (PR). Perlahan rasa enggan berganti menjadi kecintaan, hingga teruntai kalimat dari bibirnya, “I love my job.”
Siko Dian Sigit Wiyanto - PR INDONESIA Fellowship Program 2017
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Usai merampungkan pendidikan diploma di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) tahun 2007, Siko membayangkan dirinya akan ditempatkan di bagian sistem anggaran dana atau kantor pelayanan pembendaharaan negara (KPPN). Siapa yang menduga, ia justru ditempatkan sebagai PR di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Rasa kecewa dan kurang nyaman pun menyeruak di dalam dada. Ia merasa tak memiliki satu kriteria pun sebagai PR. “Insan PR pastinya adalah orang yang komunikatif. Sementara saya adalah tipikal introvert yang untuk berbicara pun susah,” ungkapnya saat ditemui PR INDONESIA di kantornya di Jakarta, Kamis (24/5/2018).
Butuh waktu lama untuk meyakinkan diri sendiri. Hingga pada tahun 2013, semua pandangan terpatahkan. Apalagi semenjak keberadaan PR makin dipandang strategis di instansinya. Ia pun menyadari ada kelebihan lain yang orang luar lihat di luar pantauannya. “Humas atau PR merupakan barometer strategis dalam sebuah instansi yang bertujuan membangun dukungan yang sinergis dan akurat. PR mencoba meluruskan paradigma masyarakat terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah,” kata Siko. “Jika ada perbedaan antara pemerintah dengan stakeholder, yaitu masyarakat, maka PR-lah yang berada di depan,” imbuhnya dengan nada bangga.
Kecintaan itu terus tumbuh saat pria yang memiliki hobi menulis ini menyadari pentingnya fungsi praktisi PR dalam pemerintahan. PR tidak dapat dipisahkan dari kebijakan. Merekalah perantara antara instansi dengan stakeholder. Contoh, salah satu kebijakan Kemenkeu, pajak melalui Anggaran Pendapat Belanja Negara (APBN). Kemenkeu bertugas untuk mendistribusikan pendapatan yang manfaatnya aan dirasakan oleh semua masyarakat Indonesia lewat berbagai fasilitas. PR-lah yang menginformasikan ke mana saja uang pajak akan didistribusikan.
“Tidak mudah mengajak masyarakat untuk membayar pajak. Bayar pajak beda dengan nonton bioskop. Beli tiket, langsung terlihat apa yang didapat setelah mengeluarkan uang. Oleh karena itu dibutuhkan public trust,” ujarnya. Di sinilah fungsi PR—memberikan pemahaman dan meyakinkan masyarakat.
Cari Mentor
Sebelas tahun malang melintang sebagai praktisi PR, Siko memandang humas dituntut untuk menguasai ilmu komunikasi sekaligus kemampuan teknis. Begitu pula di Kemenkeu. “Di sini, humas harus memahami keuangan. Kalau enggak, selesai sudah,” katanya seraya tertawa.
Ia pun menanamkan pada diri sendiri untuk tidak pernah berhenti belajar. Apalagi di tengah perubahan era dan perkembangan teknologi yang begitu pesat. “Perhatian terhadap perubahan teknologi digital harus dikejar,” kata pria yang bersama timnya sedang giat menyusun strategi komunikasi. Salah satunya, berstrategi melalui narasi dasar untuk membangun public trust.
Tak lupa, “Jangan pernah berhenti belajar dan jangan kudet (kurang update),” tegasnya. Inilah yang mendorong Siko untuk mengikuti PR INDONESIA Fellowship Program 2017 - 2018, sebagai upaya memperluas jejaring dan wawasan, sekaligus kesempatan bertukar pikiran dan berbagi pengalaman dengan sesama praktisi PR. Kepada generasi PR yang lebih muda, Siko berpesan agar memiliki inisiatif, kreativitas dan integritas yang tinggi. “Carilah mentor, terus belajar, jangan sungkan bertanya, dan pahami perkembangan zaman karena cara orang berkomunikasi selalu berubah,” tutupnya. (ans/rtn)
- BERITA TERKAIT
- Chatrine Siswoyo: Dahaga Akan Tantangan
- Anita Lestari, Pemenang KaHI 2024: Menyatu dengan PR
- Amalia Meutia, Pemenang KaHI 2024: Mengubah Ketidaktahuan menjadi Pengetahuan
- Agdya P.P. Yogandari, Pemenang KaHI 2024: Tidak Sekadar Kerja
- Asri Fitri Louisiana, Pemenang KaHI 2024: Menjalin Relasi, Merawat Bumi